Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part11

CANTING PART 11 / #cantingpart11
Oleh Fissilmi Hamida
"Argh!"
Ajeng berteriak sambil membanting paksa ponselnya. Beruntung, ponsel mahal keluaran Amerika itu memang merupakan ponsel yang tahan banting, hingga ponsel itu tak retak saat Ajeng melemparnya hingga terantuk dinding kamarnya.
Emosi benar-benar naik sampai ubun-ubunnya saat teleponnya dimatikan oleh Hadi. Pesan yang dikirimkannya sedari pagi juga tidak ada jawaban. Ia terus mencoba menghubungi nomor Hadi, tapi nihil. Nomor Hadi justru kini tak aktif lagi.
Ajeng frustasi.
Ia bersimpuh di lantai dengan punggung bersender pada ranjang kamarnya, kamar begaya klasik mewah dengan ranjang khas Eropa berwarna putih kombinasi warna gold yang berada di lantai 2 rumah yang ia tempati sendiri di Hyarta Residence, sebuah perumahan elit yang berada di daerah Sariharjo, tidak begitu jauh dari rumah Hadi di Sardonoharjo.
Angan Ajeng berkelana, teringat saat ia masih begitu mudahnya bisa mengundang Hadi untuk menghabiskan waktu bersama. Ia sering mengundang Hadi untuk datang ke rumahnya, menjamunya dengan masakan Eropa. Ajeng memang piawai dalam hal ini. Meski Hadi selalu datang dengan membawa teman agar mereka tidak berduaan, Ajeng tetap merasa begitu senang. Apalagi saat Hadi memuji masakannya,
"enak, Jeng. Suamimu tidak akan pernah jajan di luar kalau setiap hari disuguhi makanan selezat ini."
Ia kembali nelangsa. Rasanya, tak ada lagi kesempatan baginya untuk menghabiskan waktu bersama Hadi seperti sebelumnya.
Perlahan, diraihnya ponsel mahal yang teronggok di sudur ruangan, lalu kemudian ia bangkit menuju peraduan. Ditekannya kembali nomor Hadi, berharap si pemilik nomor akan memberikan jawaban yang ia nanti. Lagi-lagi, nihil. Bulir-bulir hangatnya pun kembali membasahi pipi.
"Kamu pasti sedang memadu cinta dengan gadis ingusan itu ya, Mas?" gumamnya, dengan airmata yang terus membanjiri wajahnya.
Angannya tak bisa berhenti membayangkan sosok yang selama bertahun-tahun menghuni hatinya tengah berendam di lautan asmara bersama gadis yang lain selain dirinya.
Tetiba ponselnya berdering, menyentaknya dari lamunannya. Ia hampir saja mengangkatnya karena ia mengira Hadi yang meneleponnya. Tapi melihat siapa yang meneleponnya, ia urung melakukannya dan hanya membiarkan ponselnya terus berdering begitu saja.
Telepon dari ibunya.
Bukan tanpa alasan Ajeng tidak mau mengangkatnya lantaran ibunya pasti hanya akan membicarakan soal perjodohannya dengan dr. Airlangga, putra bungsu dari dr. Kusumohardjo, kolega sekaligus sahabat ayahnya saat mereka menempuh pendidikan S3 di bidang Epidemiology & Public Health di Umea University, Swedia. Ini juga yang menjadi alasan kenapa ia memilih untuk tidak serumah dengan orangtuanya yang tinggal di daerah Purwomartani.
"Tunggu saja, Mas Hadi pasti akan segera melamarku," begitu alasannya acapkali orang tuanya membahas tentang perjodohannya dengan Airlangga. Namun kini, Hadi telah beristri, hingga ia tak bisa menggunakan alasan itu lagi.
Ajeng mendesah.
Sejujurnya, tak ada yang salah pada diri Airlangga. Ia memang tak begitu mengenalnya, bukan pula satu almamater saat menempuh pendidikan dokternya karena Airlangga menempuhnya di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, tapi, Ajeng pernah beberapakali bertemu dengannya. Di mata Ajeng, Airlangga merupakan sosok yang baik, nyaman untuk dijadikan teman, namun tidak untuk dijadikan pasangan.
Tetiba hati Ajeng berdesir. Ia ingat perkataan Hadi saat itu.
"Seperti halnya saat kita memilih frekuensi radio. Mana yang kita klik dengannya, di situ kita akan menghentikan pencarian kita."
Ajeng menyangga dagunya dengan guling yang dipeluknya. Hadi bilang, ia tidak akan peduli dengan frekuensi lainnya karena ia sudah berhenti pada gadis itu. Bukankah itu sama dengan dirinya yang hanya mau berhenti pada Hadi dan tidak peduli pada frekuensi lainnya, seperti Airlangga misalnya?
Ajeng mendesah. Salah satu sisi hati kecilnya berteriak.
Kamu tidak bisa menyalahkan Hadi, Jeng.
Seperti halnya dirimu yang tidak bisa memaksa diri menerima Airlangga, Hadi juga tidak bisa memaksa dirinya untuk menerimamu.
Pilihannya sudah berhenti pada gadis itu.
Sadari itu!
Berhenti dan ganti frekuensimu!
Ajeng menelungkupkan wajahnya. Secara teori, ia sungguh memahaminya, hanya saja pada prakteknya, ia tak mampu untuk sekadar mencoba menggeser frekuensinya yang sudah terlanjur berhenti pada Hadi. Hanya pada hadi.
Sayang, sejurus kemudian, salah satu sisi lain dalam hatinya membisikkan hal yang berbeda.
Tak apa, Jeng. Bukankah 1 frekuensi radio bisa dilipih oleh lebih dari 1 orang?
Ajeng tersenyum, penuh arti.
**********
"Eh, penganten baru sudah pulang."
Sundari tersenyum semringah menyambut Sekar dan Hadi yang baru saja pulang dari bulan madunya. Takzim, keduanya mengecup punggung tangannya.
"Inggih, Kanjeng Ibu. Kanjeng Ibu pripun? Sehat?" sapa Sekar. Sundari mengangguk.
"Sehat, Nduk. Kamu gimana? Hadi ora aneh-aneh to?" katanya, membuat Hadi tertawa. Sedang Sekar tersipu karenanya. Tidak mungkin ia menceritakan pada kanjeng ibu tentang bagaimana usil dan manjanya Hadi selama 3 hari mereka menghabiskan waktu bersama.
Sundari tersenyum lega sambil menatap punggung Sekar dan Hadi yang berlalu menuju kamar mereka. Ia bahagia putra semata wayangnya memilih Sekar sebagai pendampingnya, bukan gadis-gadis yang beberapa kali berkunjung ke rumahnya. Meski Sekar hanyalah seorang rewang, namun Sundari teramat menyayanginya. Ia tahu betul perangai dan sifat-sifatnya karena ia menyaksikan perjalanan Sekar mulai belia hingga dewasa. Karenanya, ia langsung memberikan lampu hijau saat Hadi mengutarakan keinginan untuk menikahinya.
Sundari kembali tersenyum sambil menutup pintu rumahnya karena Maghrib akan segera tiba.
"Maturnuwun, Gusti," gumamnya.
**********
Sekar celingukan. Rasanya berbeda tanpa adanya simbok di rumah ini. Simbok memang memutuskan untuk tidak lagi bekerja di rumah Hadi. Selain karena simbok sekarang adalah mertua Hadi, kesehatan ayah Sekar juga sudah mulai menurun akhir-akhir ini, sehingga simbok memutuskan untuk kembali pulang ke dusun Mangli.
"Ayo masuk," kata Hadi.
Sekar bergeming. Ia ragu untuk memasuki kamar Hadi.
"Kenapa?" tanya Hadi, menghampiri istrinya yang hanya bergeming di depan pintu kamarnya.
"Aku... aku harus tidur di sini juga, Mas?" tanyanya polos. Sejujurnya, ia merindukan kamar lamanya yang terletak di dekat dapur. Hadi tertawa.
"Tentu saja."
Gemas, ia mengacak-acak jilbab istrinya.
Sekar masih bergeming, sambil sesekali kepalanya melongok, menilik isi kamar Hadi. Selama ini, ia memang sering masuk ke kamar ini, dalam kapasitas sebagai rewang Hadi. Tapi tak pernah ia merasakan perasaan segugup ini.
"Ealah, malah ngalamun. Mau aku gendong lagi?" Hadi sudah bersiap meraih tubuh Sekar.
"Ih, Mas!" gerutu Sekar, sambil melompat menghindar. Hadi kembali tertawa.
Sekar mengedarkan pandangannya, menikmati detail-demi detail kamar Hadi. Kamar ini, ia selalu membersihkan dan menatanya setiap hari. Tak disangka, kini ia juga jadi penghuni kamar ini, sebuah kamar dengan perabotan yang kesemuanya terbuat dari kayu jati dengan ukiran-ukiran artistik yang menghiasinya.
Sedikit ragu, Sekar mendudukkan dirinya di ranjang kayu berjenis canopy bed atau ranjang dengan tudung di atasnya yang disangga empat tiang di masing-masing sisinya, dan juga ditutupi kelambu berwarna putih yang berenda di ujungnya.
Sekar masih terus mengamati tiap detail kamar itu, sembari jemarinya menyisir sisi kasur yang terbalut sprei batik bermotif grompol, salah satu motif batik yang disukainya. Motif grompol berbentuk menyerupai rantai bunga berjejer yang saling terikat satu sama lainnya dengan bentuk dan ukuran yang sama, dengan ornamen-ornamen kecil seperti bulatan-bulatan di sekitar bentuk pola utama.
"Kamu tahu filosofi motif batik itu?" tanya Hadi sambil melepas bajunya dan menggantinya dengan kaos putih pendek.
"Grompol berarti bersatu, kan?" kata Sekar. Kini ia berdiri di sebelah jendela, memastikan jendela itu sudah terkunci dengan sempurna.
"Benar. Itulah kenapa batik motif grompol ini sering dipakai pada acara pernikahan, melambangkan pengharapan pada Gusti Pangeran akan berkumpulnya rejeki, cinta, kebahagiaan, kerukunan, keturunan, dan sebagainya," jelas Hadi yang kemudian mendudukkan dirinya di sebelah Sekar.
"Doaku juga seperti itu, Sayang. Semoga kita berdua senantiasa dikumpulkan oleh Yang Maha Kuasa dalam kebaikan," kata Hadi sambil memegang ubun-ubun istrinya. Sekar mengamininya.
Hening, keduanya kini saling pandang.
Hadi baru saja akan mendekatkan wajahnya ke wajah istrinya saat ponselnya berdering nyaring, mengagetkan keduanya. Hadi mendengus melihat nomor siapa yang tertera di sana.
"Perempuan itu lagi, Mas?" tanya Sekar setelah menangkap perubahan rona wajah suaminya yang mendadak menjadi begitu masam. Hadi mengangguk.
"Seharusnya aku blokir saja nomornya dari kemarin-kemarin. Dasar tidak tahu diri!" gerutu Hadi.
Jemarinya kemudian bergerak cepat untuk memblokir nomor itu. Tapi ia kalah cepat. Ponsel yang masih berbunyi itu kini sudah berpindah ke tangan Sekar.
"Kamu mau a..."
Hadi urung melanjutkan kalimatnya saat Sekar meletakkan telunjuk di bibirnya, mengisyaratkan agar Hadi diam saja. Hadi pasrah. Ia juga ingin tahu apa yang akan dilakukan istrinya dengan ponsel itu.
"Iya, halo?" sapa Sekar dengan suara lembutnya.
Hadi melongo melihatnya. Sekar mengangkat telepon dari Ajeng? Ia kira Sekar akan mematikannya.
Ini gila!
"Halo? Siapa ya?"
Sekar mengulang sapaannya saat tidak ada suara dari seberang sana.
"Kamu siapa? Aku ingin bicara dengan Mas Hadi. Di mana dia?" jawab suara di seberang sana. Ketus.
Sekar melirik Hadi sejenak.
"Oh, mau bicara dengan Mas Hadi? Saya Sekar, Mbak. Istrinya Mas Hadi. Ini Mas Hadi sedang duduk di sebelah saya. Ada yang ingin disampaikan?" kata Sekar lagi. Hadi semakin melongo, tak percaya pada apa yang dilakukan istrinya.
Sekar... keren sekali!
"Aku ingin bicara dengannya. Berikan teleponnya!"
Suara di seberang sana semakin ketus saja. Hadi bisa jelas mendengarnya karena Sekar menyalakan loudspeaker ponselnya.
"Mas Sayang, ini ada yang mau bicara. Kersa ngendika mboten, Mas?" tanya Sekar.
Hadi hanya diam saja, karena ia masih tersihir oleh apa yang dilakukan istrinya, sampai Sekar menyenggolnya
"Eh, enggak enggak," jawab Hadi kemudian.
"Nyuwun ngapunten, Mbak. Mas Hadi tidak mau. Mas Hadi masih lelah. Kami baru saja pulang dari bulan madu soalnya. Begini saja, kalau Mbak... halo? Halo?"
Mati. Telepon itu terputus begitu saja.
"Dimatikan, Mas," kata Sekar sambil menyodorkan ponsel itu pada Hadi.
"Kamu... kenapa kepikiran untuk mengangkat telepon Ajeng?" Hadi masih terpana dengan apa yang baru saja dilakukan istrinya.
Sekar menggerak-gerakkan kakinya, tapi manik matanya menatap suaminya.
"Mbak Ajeng itu kan maunya telepon Mas Hadi, maunya ngobrol sama Mas. Kalau tiap telepon yang angkat aku, pasti lama-lama mbak Ajeng kesal dan mungkin akan berhenti menelepon," jelas Sekar.
Hadi menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal.
"Apa tidak sebaiknya aku memblokirnya saja? Atau aku ganti nomor?" tanya Hadi. Ia masih belum mengerti kenapa istrinya melakukan itu.
"Oh, jangan, Mas. Kalau Mas memblokir nomornya, Mbak Ajeng pasti akan membeli nomor baru. Kalau Mas ganti nomor, dia pasti akan terus mencari tahu. Lagipula, teman-teman Mas kan teman-teman Mbak Ajeng juga. Kalian satu SMA, satu almamater S1 juga. Pasti akan sangat mudah baginya untuk mendapatkan nomor baru Mas. Namanya orang kedanan, dia pasti akan melakukan segala macam cara," jelas Sekar panjang lebar.
"Jadi, tidak perlu memblokir atau membeli nomor baru. Biarkan saja. Biar aku yang mengangkatnya tiap Mbak Ajeng menelepon Mas," imbunnya lagi.
Hadi semakin terpana. Istri belianya, kenapa jadi begitu bijaksana? Namun sejurus kemudian, ia menganggukkan kepalanya, tanda setuju atas ide istrinya.
"Tadi kamu bilang, orang yang kedanan akan melakukan berbagai macam cara kan untuk mengejar orang yang membuatnya tergila-gila?" tanya Hadi. Sekar mengangguk. Ia tak lagi menggerak-gerakkan kakinya.
"Apa itu sama sepertimu yang akan melakukan segala cara untuk mempertahankanku?" goda Hadi sambil mengerling manja.
Sekar mbesengut.
"Kamu kan kedanan sama aku," godanya lagi. Gemas, Sekar mendaratkan sebuah cubitan kecil di paha suaminya.
"Bukannya Mas Hadi yang kedanan sama aku? Sampai-sampai Mas lebih memilih aku yang masih anak ingusan, anak rewang, daripada memilih Mbak Ajeng yang matang dan sempurna itu?" balas Sekar.
Skak mat!
Benar juga. Tak kalah gemas, Hadi lalu berusaha meraih istrinya, berkejaran di dalam kamar sambil cekikikan. Sundari yang tak sengaja lewat hanya bisa tersenyum sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Tertangkap!
Tenaga Hadi begitu kuat hingga Sekar tak mampu melepaskan diri darinya. Perlahan, Hadi merapatkan kembali wajahnya ke wajah istrinya, tapi Sekar buru-buru menghalaunya dengan tangan kanannya.
"Mas, sudah Maghrib," katanya, seiring dengan suara adzan yang mengalun begitu merdunya.
Hadi nyengir dan melepaskan pelukannya. Sekar tertawa geli melihatnya.
**********
JEC, Jogja Expo Centre, Banguntapan, Bantul.
Sekar tampak menawan dengan baju batik sarimbitnya dengan Hadi. Hadi memakai kemeja batik lengan panjang, sedang Sekar memakai baju batik lengan pendek yang ia padukan dengan manset hitam. Model bajunya yang mekruk di bagian bawah, jilbab berwarna senada dengan batik yang dipakainya yang ia bentuk sedemikian rupa dengan hiasan bros bunga di sisi kirinya, celana hitam dan juga sepatu dengan hak tidak terlalu tinggi, membuat Hadi menatapnya tanpa berkedip berkali-kali.
Mereka berdua ramah menyapa pengunjung yang datang ke stand mereka, dan juga menjelaskan segala hal tentang batik yang pengunjung tanyakan pada mereka. Hari ini, mereka turut serta meramaikan acara Festival Jogja Kota Batik Dunia yang digelar oleh PEMDA Daerah Istimewa Yogyakarta. Acara ini diadakan sebagai bentuk eksistensi kota Yogyakarta sebagai kota batik dunia sebagaimana yang telah ditetapkan oleh World Craft Council (WCC) pada tahun 2014 silam.
Ada banyak motif batik khas Yogyakarta yang ditampilkan pada acara ini, seperti batik motif grompol, motif kawung, motif parang, motif nitik, motif semen, dan juga tentu saja motif truntum, motif batik yang tak bisa dipisahkan dari rasa cinta Hadi pada Sekar yang terus tumbuh mekar acapkali ia melihat Sekar tengah menarikan canting di atas kain mori untuk membuat motif batik tersebut.
"Aku ke toilet sebentar, ya," bisik Hadi di telinga Sekar.
"Jangan lama-lama tapi, Mas. Itu ada rombongan bule. Aku takut mereka ke sini dan aku tidak bisa menjelaskan apa-apa," kata Sekar.
Hadi mengangguk, lalu setengah berlari menuju toilet yang terletak di ujung gedung.
Dengan penuh semangat, Sekar membagikan selebaran untuk mengundang pengunjung datang langsung ke rumah produksi The House of Sundari milik keluarga Hadi untuk melihat pembuatan batik tulis di sana sekaligus mencoba langsung untuk mempraktekkannya. Namun kemudian, manik matanya menangkap seseorang yang tengah melangkah anggun ke arahnya; perempuan yang beberapa hari ini terus menghubungi suaminya.

**********
NOTES :
• Inggih, Kanjeng Ibu. Kanjeng Ibu pripun? Sehat? : Iya, Bu. Ibu bagaimana? Sehat?
• Hadi ora aneh-aneh to? : Hadi nggak macam-macam, kan?
• Maturnuwun, Gusti : Terimakasih, Tuhan.
• Ealah, malah ngalamun : ealah, kok malah melamun.
• Gusti Pangeran : Tuhan
• Kersa ngendika mboten, Mas? : Mau ngomong nggak, Mas?
• Nyuwun ngapunten : mohon maaf
• Kedanan : tergila-gila
• Mekruk : mengembang


Order Novel

Comments