Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part4

CANTING (PART 4)
Oleh Fissilmi Hamida
Kedua kaki Sekar mendadak lemas melihat apa yang dilakukan Hadi. Beberapa pengunjung Westlake resto kini mendekat ke arah mereka berdua. Beberapa yang lainnya bahkan berdiri dari gazebo dan tempat duduk mereka. Mereka semua ingin tahu kelanjutannya.
"Duh, Den, jangan begini, Den. Ayo berdiri," pinta Sekar, setengah berbisik. Ia salah tingkah.
Hadi bergeming. Ia tetap berlutut dengan menyodorkan kotak cincin itu di hadapan Sekar. Sekar celingukan, tak tahu apa yang harus dilakukan.
"Duh, Gusti... piye iki."
Sekar semakin tampak kebingungan. Sementara semakin banyak saja pengunjung yang mengerubuti, bahkan beberapa mengeluarkan ponsel mereka untuk merekam kejadian manis ini.
"Den, ayo, Den. Kita dilihat banyak orang," pinta Sekar lagi.
"Biarkan. Biarkan mereka semua jadi saksi keseriusanku ini," jawab Hadi dengan sebuah senyum tersungging.
Sekar memejamkan mata. Rasanya ia ingin menangis saja. Debar di hatinya kian menggelora.
"Sekar Kinasih, hari ini, aku, Hadi Suwito berlutut di hadapanmu untuk meminta kesediaanmu menjadi istriku. Jika kamu menerima lamaranku, ambil cincin ini dan pakaikan di jari manismu. Jika kamu menolak lamaranku, ambil cincin ini dan berikan padaku," ucapnya mantab, masih dengan ketenangan paripurna. Beberapa pasang mata semakin terpana melihat keduanya.
Hadi sudah cukup lama menyimpan cincin ini. Sepasang cincin yang terbuat dari logam zirkonium hitam bertuliskan nama Sekar-Hadi yang ia pesan khusus dari kota Brighton, tepat 2 bulan sebelum kelulusannya dari Queen Mary. Selain karena alasan bahwa lelaki muslim tidak boleh memakai emas, Hadi sengaja memilih logam ini karena filosofinya. Pertama, logam ini adalah jenis logam langka. Sesuatu yang langka, bukankah selalu istimewa? Dan sesuatu yang istimewa, bukankah memang layak diberikan pada sosok yang juga istimewa? Kedua, logam zirkonium hitam dipercaya sebagai logam yang kekuatannya melebihi logam titanium dan bahkan tahan dari panas dan api, melambangkan harapan Hadi bahwa kelak ikatan cintanya dengan Sekar akan tumbuh begitu kuat dari segala coba dan uji yang menghalangi.
Hadi terus bergeming, sedang Sekar semakin tampak kebingungan. Rasa malu yang menderu, geletar-geletar hebat di hatinya yang semakin menggelegar, semua bercampur menjadi satu.
"Terima... terima..." seseorang bersuara, diikuti suara yang lainnya, membuat Sekar semakin salah tingkah karenanya.
"Terima... terima...."
Suara itu kian riuh rendah. Sekar memejamkan mata. Angan dan harapannya, wajah bapak yang merah diselimuti amarah, nasehat-nasehat simbok, juga wajah teduh Hadi, saling bermunculan di benaknya. Ia sungguh tak tahu harus bagaimana.
Namun sejurus kemudian, tetiba hatinya terasa dingin, seperti ada tetesan embun pagi yang menyejukkannya. Entah, rasanya seperti ada kekuatan magis yang memberinya kekuatan untuk mengambil cincin di depannya.
Riuh rendah itu tak lagi ada. Semua kini terdiam menahan napas, semua ikut merasa tegang pada apa yang akan dilakukan Sekar pada cincin itu; menyematkannya di jari manisnya, atau mengembalikannya pada sosok berkacamata di hadapannya.
Sekar meremas-remas cincin itu, menyembunyikannya di balik jemari lentiknya.
Hadi terperangah saat Sekar menyodorkan tangannya, mengembalikan cincin yang diambilnya tadi. Puluhan pasang mata yang sedari tadi menunggu keputusan Sekar tampak kecewa.
"Jadi... kamu menolak lamaranku?" tanya Hadi. Semburat kecewa tergambar jelas di wajahnya.
Sekar menggeleng. Beberapa orang masih merekam kejadian itu dengan ponsel mereka.
"Lalu?" Hadi bingung.
Jika Sekar tidak menolaknya, kenapa ia mengembalikan cincinnya?
"Itu... cincinnya... kekecilan," ucapnya perlahan, setengah berbisik.
"Huh?" Hadi terkesiap.
"Saya tidak bisa memakainya di jari manis saya, Den. Nggak muat," ucapnya lagi. Jemarinya masih menyodorkan cincin itu untuk Hadi. Jantung Hadi berdegup semakin cepat.
"Jadi, kamu mengembalikan cincin ini hanya karena cincinnya kekecilan?" tanyanya, memastikan. Sekar mengangguk.
"Kata Den Hadi, kalau saya menerima lamaran Den Hadi, saya harus memakai cincin itu di jari manis saya, kan?" jelasnya, polos.
Sejenak hening. Hadi berusaha secepat kilat mencerna maksud Sekar, lalu tersenyum gemas setelah menyadarinya.
"Kalau begitu, pakaikan di jari manapun yang kamu suka. Semuatnya!" katanya kemudian. Bias suka cita jelas tergambar.
Sejurus kemudian, Sekar mengacungkan jari kelingkingnya dengan cincin zirkonium hitam yang sudah tersemat di sana. Suasana masih hening. Seperti halnya Hadi, mereka betul-betul ingin mendengar langsung dari bibir Sekar bahwa ia menerima lamaran Hadi.
"Apa ini berarti... kamu menerimaku?" Hadi memastikan lagi.
Sekar terdiam sejenak, dan beberapa saat kemudian mengangguk, bersamaan dengan bibirnya yang bergerak perlahan, "iya, Den."
Sorak sorai pengunjung Westlake resto semakin riuh terdengar, turut merasakan romantisme yang tercipta di hadapan mereka.
"Sekar Kinasih, maukah kamu menjadi istriku?" ulang Hadi.
Sekar mengangguk pasti, sebab ia sudah tak bisa berkata-kata lagi. Atmosfer keharuan begitu kuat menyelimutinya, bahkan membelenggunya untuk sekadar menjawab pertanyaan Hadi dengan kata-kata.
Anggukan Sekar disambung dengan Hadi yang langsung sujud syukur mendengarnya. Puluhan pasang mata yang berada di sana semakin terkesima. Alih-alih memeluk sosok yang menerima lamarannya, Hadi justru langsung bersujud di atas tanah tepi danau tempatnya berpijak untuk meluapkan rasa gembiranya. Benar-benar pemandangan yang langka.
Beberapa pasang mata menitikkan airmata keharuan melihatnya. Begitupula Sekar yang tak kuasa menahan bulir-bulir hangat yang begitu saja membasahi pipinya yang bersemu merah.
"Selamat, Mbak, Mas."
Begitu kata beberapa, sembari menyalami keduanya. Bahkan beberapa wanita paruh baya menghadiahi Sekar dengan pelukan tanda turut bahagia.
**********
Sepanjang perjalanan pulang, keduanya lebih banyak diam. Hanya sekilas pandangan dan seutas senyuman yang saling mereka berikan. Luap bahagia yang tercipta, juga rasa malu yang membuat keduanya tersipu manja, membuat keduanya tak mampu saling berkata. Meski begitu, semesta tahu bahwa keduanya tengah bahagia.
Sekar menatap kerlap kerlip lampu dari jendela mobil yang tengah dikemudikan Hadi. Angannya melanglang buana. Banyak sekali hal tak terduga yang terjadi dalam hidupnya. Termasuk kisahnya dengan Hadi yang baru saja ia alami. Dilamar majikan sendiri? Sebuah fase kehidupan yang tak disangkanya sama sekali.
Dalam budaya Jawa, ada 11 tembang macapat yang menggambarkan perjalanan hidup manusia, mulai dari Maskumambang yang menceritakan tentang janin yang kumambang (terapung) di dalam kandungan, Mijil yang menceritakan fase kelahiran manusia ke dunia, Sinom yang berasal dari kata nom atau muda yang menggambarkan masa kanak-kanak hingga masa muda manusia, Kinanthi yang mengisahkan tentang masa pembentukan jati diri manusia di mana dalam masa itu, seringkali manusia butuh kanthi atau tuntunan dari orang tua, Asmaradana yang mengisahkan masa masa sedih, bahagia, risau dan cemburu karena jatuh cinta, Gambuh yang berasal dari kata jumbuh yang berarti bersatu, yang menggambarkan tentang penyatuan cinta dalam satu biduk rumah tangga, Dandanggula yang menggambarkan tahapan manusia menjalani manisnya hidup dalam membina rumah tangga, Durma yang mengandung filosofi mendalam bahwasanya dalam sebuah kehidupan, adanya duka dan juga perselisihan adalah sebuah keniscayaan, Pangkur, singkatan dari nyimpang lan mungkur atau menyimpang dan menghindar, yang mengajarkan bahwa hendaknya manusia terus berusaha menghindari dari nafsu dunia, juga nafsu yang menggerogoti jiwa, Megatruh atau megat roh yang berarti fase terpisahnya roh dari badan, sampai terakhir, Pucung yang berarti pocong atau jasad manusia yang dibungkus kain mori putih, mengisahkan bahwa kelak seluruh manusia hanya akan menyisakan jasad yang dibungkus mori (kain kafan) saat dikuburkan di tempat peristirahatan abadi.
Sekar menghela napas, lalu sejurus kemudian manik matanya melirik sosok tegap di sebelahnya. Sayang, Hadi juga tengah melakukan hal yang sama hingga manik mata keduanya beradu pandang beberapa detik lamanya. Sekar buru-buru mengalihkan padangan. Terlambat. Panah yang muncul dari pandangan Hadi telah melesat jauh masuk ke dalam hatinya.
Sekar mendesah pelan setelah berhasil mebuang pandangan. Rasa-rasanya, fase demi fase hidupnya berlalu dengan begitu cepat. Rasanya seperti mimpi bahwa sebentar lagi ia akan memasuki fase pernikahan.
Diliriknya kembali Hadi yang dengan begitu tenang mengendarai kereta bermesinnya. Tapi, tiba-tiba ada sesuatu yang menghinggapi hatinya, sesuatu bernama keraguan.
Benar jika keberadaan den Hadi seringkali membuat hatiku bergetar.
Tapi, apakah aku menerima Den Hadi karena ingin?
Bagaimana jika itu karena dorongan dari suasana haru yang tercipta?
Bagaimana jika itu karena aku terbawa suasana romantisme yang Den Hadi bawa?
Bagaimana jika ternyata itu karena kerumunan orang-orang tadi yang riuh rendah mendorongku untuk menerima Den Hadi?
"Aw!" Sekar Mengaduh. Kepalanya terantuk jendela, membuyarkannya dari segala lamunannya. Hadi mengerem mendadak rupanya. Seorang pengendara motor menyalip tiba-tiba dari sebelah kiri.
"Kamu nggak apa-apa?" tanya Hadi. Rona kekhawatiran jelas tergambar di raut wajahnya.
"Tidak apa-apa, Den. Saya hanya kaget saja," jawab Sekar, sambil mengelus elus dahinya.
"Hmm, sekarang, puas puaskan memanggilku dengan embel embel den. Setelah menikah nanti, tidak akan ada panggilan itu lagi karena kamu akan memanggilku Mas Hadi. Bukan Den Hadi lagi," kata Hadi sebelum menjalankan mobilnya kembali, dengan senyum khasnya yang begitu menentramkan hati.
Sekar menundukkan kepala mendengarnya.
"Mas Hadi." Sekar mencoba menggumamkannya dengan sangat pelan, hingga Hadipun tak mendengarnya.
Ah, kenapa rasanya aneh sekali?
**********
Rumah sakit JIH. Jogja International Hospital.
Ajeng melangkah perlahan menuju restoran Parsley yang berada di ujung rumah sakit, di sebelah konter pengambilan obat. Lupa sarapan membuat kepalanya pusing dan perutnya melilit tak tertahankan.
Hari itu ramai sekali. Shofa dan kursi di lobi semua penuh terisi. Begitu juga dengan konter-konter admisi. Sambil memijit-mijit leher bagian belakang, Ajeng mengedarkan pandangan. Semua tampak sibuk melihat ponsel masing-masing. Ada yang bergerombol melihat satu ponsel, ada yang melihat ponselnya sendiri. Tapi sepertinya, mereka tengah melihat hal yang sama.
"Mungkin ada yang sedang viral di social media," pikirnya.
"Monggo, Dok."
Salah satu pelayan restoran meletakkan satu porsi nasi goreng Parsley kesukaan Ajeng. Menu yang selalu dipesannya saat makan di tempat ini.
Ajeng mengernyitkan dahinya. Beberapa pelayan Parsley juga tengah bergerombol sambil melihat sesuatu di ponsel mereka.
"Mbak, itu ada apa kok ramai-ramai? Di depan, orang-orang juga gitu. Ada yang lagi heboh, to?" tanyanya pada pelayan yang baru saja mengantarkan nasi gorengnya.
"Wah, Dokter Ajeng pasti sibuk banget sampai ketinggalan info yang lagi hits," jawabnya. Ajeng semakin penasaran dibuatnya.
"Iya, to? Ada apa memangnya?" tanyanya lagi.
Pelayan itu mengeluarkan ponselnya. Membuka salah satu akun sosial medianya, dan menunjukkan sebuah video pada Ajeng.
"Ada yang semalam melamar ceweknya, Dok. Di Westlake. Romantis banget, sumpah. Baper baper baper," jelasnya antusias.
Ajeng menerima ponsel pelayan yang masih terus antusias menjelaskan video yang sedang viral itu. Dilihatnya video itu dengan seksama. Namun baru 2 detik ia melihatnya, Ajeng langsung merasa lemas tak berdaya. Sunggingan senyum di bibirnya juga hilang seketika. Ia mengenal sosok lelaki yang ada di video itu. Sosok yang telah bertahun-tahun menghuni seluruh sisi hatinya. Hadi Suwito, yang teramat dicintainya.
Dadanya bergemuruh, napasnya mendadak tersengal dan kedua pelupuk matanya memanas. Dadanya serasa hampir meledak saat Ajeng melihat cara Hadi menatap gadis yang berdiri di hadapannya. Sebuah tatapan hangat penuh cinta yang tak pernah sekalipun Hadi tunjukkan untuknya.
Mata Ajeng yang berair mulai berkunang-kunang. Pusingnya semakin menjadi-jadi. Jemarinya bergetar hebat. Rasanya tak ada lagi kekuatan tersisa di sana hingga ponsel di tangannya terjatuh begitu saja.
Tepat saat ia melihat Hadi sujud karena si gadis menerima lamarannya, Ajeng kehilangan kesadarannya. Namun sebelum semua menjadi gelap, ia sempat mendengar beberapa orang berteriak, juga merasakan ada tangan yang berusaha menyangga tubuhnya.
Bersambung.
**********
NOTES :
• Duh Gusti, piye iki : Ya Tuhan, bagaimana ini.


Order Novel

Comments