Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part7

CANTING PART 7
Oleh Fissilmi Hamida
Meski rasa malu masih terus menggelayuti, Sekar merasakan ada aliran hangat yang mengalir di seluruh pembuluh darahnya mendapati jemarinya digenggam seperti itu. Hangat, hangat sekali.
Baru kali ini ada seorang lelaki yang menggenggam jemarinya dengan begitu kuat. Selama ini, hanya simbok yang selalu menggengam tangannya. Untuk membimbingnya saat ia kebingungan, untuk menguatkannya saat ia dilanda kesedihan. Bapak tak pernah melakukannya. Ah, selalu ada perih menyeruak acapkali Sekar mengingat apapun tentang bapak. Bapak yang disayanginya, namun tak pernah punya rasa sayang yang sama untuknya.
Bapak pernah sangat terpukul ketika ketiga jagoan laki-lakinya meninggal di usia belia, dan kekecewaan itu kian bertambah saat sebelas tahun kemudian, bukan bayi laki-laki yang dilahirkan simbok, melainkan bayi perempuan. Bapak tak menyukainya, bapak menganggap anak perempuan tak akan ada gunanya, hingga Sekar tak pernah mendapatkan kasih sayang dari seorang ayah yang selayaknya.
Namun kini, lihatlah. Bapak tampak sangat bahagia, bangga karena anak perempuan tak bergunanya berhasil menjadi permaisuri hati Hadi, sosok terpandang yang begitu disegani.
"Akhirnya kamu berguna juga. Bisa menggaet lelaki kaya," begitu kata bapak hari itu, tepat setelah bapak menerima lamaran Hadi.
Sungguh, Sekar benci ini. Jadi yang disebut bapak sebagai berguna adalah saat ia bisa menikah dengan lelaki kaya? Jadi alasan bapak menyetujui lamaran Hadi semata-mata hanya karena kekayaan Hadi?
Sekar menoleh, menujukan pandangan pada sosok tegap di sebelahnya. Sosok itu juga ternyata tengah menujukan manik matanya padanya.
"Terimakasih, Sayang. Terimakasih sudah bersedia membangun cinta bersamaku," ucapnya, yang lagi-lagi mengalirkan getaran-getaran magis di tiap sisi hati Sekar.
Sekar hanya membalasnya dengan sebuah sunggingan senyuman, lalu kembali pada angannya yang tengah berkelana, mengais lembar demi lembar kisah tentang bapak yang membuat hati kecilnya berteriak.
Sekar tak sanggup membendung airmatanya yang tumpah ruah saat gending ketawang mijil wigaringtyas mengiringi prosesi sungkeman. Airmata itu kian mengucur deras saat ia bersimpuh di hadapan sosok yang telah melahirkannya. Terbayang segala pengorbanannya, terbayang segala kesabarannya, terbayang segala sakit dan keikhlasannya.
Sekar meraih jemari yang sudah mulai rapuh itu dan menciumnya takzim. Tubuhnya bergetar hebat.
"Mbok, Sekar nyuwun pangestunipun," ucapnya dengan airmata yang terus membasahi wajah ayunya.
Perlahan, simbok membelai kepala putri semata wayangnya. ia juga tak sanggup menahan bulir-bulir hangat yang keluar dari mata keriputnya. Direngkuhnya kepala Sekar di pangkuannya, hingga suasana haru itu semakin terasa.
"Simbok merestuimu, Nduk. Simbok ridha," ucapnya perlahan di sela sela isak tangisan.
Sekar mengangkat kepalanya dari pangkuan simbok dan sejenak menatap wajah tuanya. Kesabarannya paripurna. Itu yang Sekar lihat di sana. Wani ngalah dhuwur wekasane, itu yang selalu dipegang simbok, hingga simbok tetap sabar untuk bertahan meski bapak pernah menghianatinya, meninggalkannya untuk menjalin cinta dengan seorang janda hanya karena bapak kecewa simbok tak melahirkan anak laki-laki lagi seperti inginnya.
"Den Hadi, titip Sekar, ya. Hanya Sekar harta paling berharga yang Simbok miliki. Tolong jaga dia, Den. Tolong bahagiakan dia. Simbok tahu selama ini dia memendam duka, baik karena perlakuan ayahnya, juga karena dia tidak memiliki kesempatan yang sama dengan kebanyakan anak-anak seusianya," pesan simbok pada Hadi.
Hadi menggenggam jemari simbok erat-erat.
"Mbok, jangan panggil aku den lagi. Sekarang aku sudah menjadi anak lelakimu, Mbok. Aku bukan majikan simbok lagi," terangnya, sembari menatap wajah ibu dari permaisuri hatinya. Simbok membalasnya dengan airmata haru.
"Terimakasih sudah melahirkan Sekar, Mbok. Terimakasih sudah menghadirkan, mendidik, dan membesarkan separuh jiwaku," ucap Hadi lagi, sembari takzim mencium tangan simbok.
Hadi kembali menggandeng Sekar, membimbingnya untuk menuju kursi pelaminan. Jemarinya tak pernah lepas dari jemari Sekar. Jemari ini... dulu Hadi pernah menggenggamnya saat pemilik jemari ini masih belia, merengkuhnya untuk berjalan ke rumah bersama saat si pemilik ia menangis karena terjatuh, atau karena tersesat saat berjalan pulang Kini, jemari ini digenggamnya sebagai garwa yang berarti sigaraning nyawa atau belahan jiwa. Sesuatu terpatri dalam hatinya, bahwa akan terus berusaha membahagiakan sigaraning nyawanya.
"Sekar...," panggilnya perlahan, tanpa melepaskan genggamannya. Sekar menoleh.
"Iya?" balasnya. Jantung Hadi berdegub lebih kencang mendengar suara lembutnya.
Hadi memandanginya. Kini kedua mata mereka beradu pandang. Masih terasa bagaimana suasana ijab kabul yang tadi pagi diucapkannya di lantai satu masjid kampus Universitas Gadjah Mada, sebuah janji suci yang setara dengan parjanjian Rabb dengan rasulNya; mitsaaqan ghalidha.
"Aku mencintaimu," bisiknya di telinga Sekar.
Sekar merinding. Posisi Hadi terlalu dekat hingga tanpa sengaja bibirnya menyentuh telinga Sekar. Lagi-lagi, Sekar hanya mampu membalasnya dengan seutas senyuman, karena pembawa acara meminta mereka untuk berdiri, menyambut para tamu yang hendak naik ke panggung pelaminan untuk menyalami mereka.
Tak sedikit dari tamu yang datang yang kemudian memuji kecantikan Sekar, yang kemudian terpesona dengan segala keanggunan dan pesona yang terpancar.
"Kalau rewangku seperti dia, aku juga tidak keberatan menikahinya," bisik salah satu teman SMA Hadi. Hadi tertawa mendengarnya dan membalas dengan satu cubitan kecil di lengan temannya itu.
Hadi dan Sekar masih terus menyalami tamu demi tamu yang datang, hingga sejurus kemudian, Hadi terkesiap setelah melihat seseorang yang sangat dikenalnya, berjalan perlahan menuju pelaminannya. Dr. Rahajeng Sukmawati. Ajeng.
Ajeng melangkah perlahan. Pesonanya paripurna, beberapa pasang mata bahkan tak mengerjap melihatnya. Dengan balutan kebaya mewah berwarna keemasan, dan juga kain batik tulis mewah berwarna kecoklatan, Ajeng terlihat begitu bersinar. Highheels 15 cm yang ia pakai menambah lekuk tubuhnya terlihat semakin semampai. Gaya sanggul bouffant dipadu dengan poni menyamping, yang dilengkapi dengan hiasan mahkota kecil membuat pesonanya semakin menyihir siapa saja yang melihatnya.
Hadi mendesah. Entah mengapa ia merasa Ajeng sengaja berdandan sesempurna itu untuk mengusiknya, untuk membuktikan padanya bahwa secara fisik, ia jauh lebih paripurna dari pada sosok manis yang berdiri di sebelahnya. Hadi memalingkan wajah. Benar secara fisik, Ajeng lebih paripurna. Mantan Diajeng kabupaten Sleman, mustahil jika fisiknya tak menawan. Namun sungguh, bukan itu alasan Hadi menjadikan Sekar sebagai tambatan hati. Sepertinya Ajeng masih tak memahami itu.
"Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur," ucap Ajeng pada Hadi, dengan bahasa Perancis yang begitu sempurna pengucapannya.
Hadi terhenyak. Dadanya tetiba bergemuruh. Apalagi saat Ajeng mengucapkan itu sambil melirik Sekar, seolah ingin membuktikan bahwa secara intelektual, ia juga jauh lebih baik daripada Sekar, anak ingusan yang hanya lulusan SMA. Hadi melirik Sekar, khawatir sang istri jadi kembali rendah diri karenanya.
"Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous," kata Sekar, sambil menyunggingkan sebuah senyuman, sejenak setelah mereka bertiga terjebak dalam 3 detik keheningan.
Hadi terkesiap, begitu juga Ajeng. Napasnya mendadak tersengal, lalu ia berlalu meninggalkan panggung pelaminan itu dengan sebuah senyuman. Senyum yang dipaksakan untuk menutupi perasaannya yang mendadak kesal.
Hadi memicingkan mata. Ia melirik istrinya yang tengah asyik bersalaman dengan tamu-tamu lainnya.
Mulut Hadi menganga, rasanya ia tak percaya pada apa yang baru saja di dengarnya. Sekar? Dia... membalas ucapan Ajeng dengan bahasa Perancis juga?
Sebuah tepukan mengagetkan Hadi, membangunkannya dari keterpanaannya. Tepukan dari sahabat baiknya, Haryo Penangsang yang datang bersama istrinya.
"Selamat, ya, Di, Sekar. Kami turut berbahagia," kata istri Haryo sambil menyalami Sekar. "Kamu cantik sekali. Pantas saja Hadi tergila-gila begini," sambungnya lagi.
"Yo, tadi Ajeng datang," bisik Hadi, begitu pelan, khawatir Sekar akan mendengar.
"Iya, Di. Aku tidak bertemu dengannya, tapi sepertinya mobil kami parkir bersebelahan. Dia tidak membuat masalah, kan?" bisik Haryo, tak kalah pelan. Hadi bingung harus menjawab apa.
"Sudah, Di. Abaikan saja. Dia datang, berarti dia sudah menerima dengan lapang. Tidak perlu kamu pikirkan," bisiknya lagi, mencoba menenangkan Hadi.
Ah, rasanya Hadi ingi memberitahu Haryo apa yang terjadi tadi, saat Ajeng menyihir setiap mata dengan dandanannya yang begitu sempurna, saat ia menggunakan bahasa Perancis untuk mengucapkan selamat padanya dan istrinya. Sesuatu yang sangat tak wajar menurutnya.
"Kapan-kapan, ajaklah Sekar main-main ke rumah," kata Haryo kemudian. Hadi mengangguk. Haryo kemudian memeluknya, dan membisikkan sesuatu yang membuat pipi Hadi bersemu, juga membuat Hadi menghadiahinya dengan sebuah pukulan kecil.
"Ojo kesusu, lho, Di. Ingat, dia masih 18 tahun," begitu bisiknya.
Hadi menghela napas. Kehadiran Ajeng tadi sungguh mengejutkannya. Perlahan, di raihnya jemari istrinya kembali. Ia lalu mendekatkan jemari itu ke wajahnya, dan memberikan sebuah kecupan di sana. Sekar hanya menurut saja, meski sejujurnya kedua kakinya lemas karenanya. Ia malu luar biasa.
Hadi kembali terus menyalami para tamu yang masih terus datang silih berganti, sambil sesekali melirik sang istri, berharap kebahagiaan ini akan berlangsung selamanya, layaknya legenda Mimi dan Mintuna, sebuah legenda cinta yang ada dalam budaya Jawa.
Konon, sejak zaman dulu orang Jawa menjadikan legenda 'Mimi dan Mintuna' sebagai simbol untuk menggambarkan kesetiaan pasangan suami istri. Sebuah kesetiaan sempurna, sebab keduanya berikrar untuk selalu bersama dalam suka maupun duka, bersama hingga hanya kematian yang memisahkan mereka, sebuah legenda yang melambangkan jalinan keluarga yang sakinah, mawaddah, dan rahmah.
Sayup-sayup tembang asmaradhana mengalun merdu memenuhi ruangan itu.
Gegaraning wong akrami,
Dudu banda, dudu rupa,
Amung Ati pawitane,
Luput pisan kena pisan,
Yen gampang luwih gampang
Yen angel, angel kelangkung,
Tan kena tinumbas arta.
[Bekal orang berumah tangga itu,
Bukan harta bukan rupa.
Namun hatilah bekal sesungguhnya.
Pernikahan sekali seumur hidup,
Kakau jodoh tidak akan kemana,
Namun jika bukan jodoh, maka tak akan bertemu jua.
Tak bisa dibeli dengan harta, apapun dan sebanyak apapun jumlahnya]
**********
Queen of the South Beach Resort, Parangtritis.
Sekar melihat sekelilingnya. Rasanya seperti mimpi. Ia seperti berada di Karibia, sebuah kepulauan cantik dengan pesona bahari yang teramat mengagumkan, padahal sebetulnya ia tengah berada di sebuah resort di pantai selatan Yogyakarta, tempat di mana Hadi membawanya selepas resepsi di Grha Sabha Pramana tadi.
Sekar mendulang takjub penuh kesyukuran. Di hadapannya, terhampar pemandangan pantaiNya yang begitu luas. Semakin mempesona, ketika langit mendadak berwarna keemasan, seiring dengan matahari yang perlahan terbenam, kembali ke peraduan.
Sekar terhenyak. Tetiba ada tangan kekar yang memeluknya dari belakang. Ia kikuk. Geletar-geletar aneh semakin merasukinya saat pemilik tangan kekar itu semakim merapatkan dirinya, dan menyandarkan dagu di pundaknya, hingga rahang kokoh itu bersentuhan dengan pipinya.
"Ayo, Sayang, kita masuk kamar. Sebentar lagi maghrib datang," begitu bisiknya.



**********
NOTES :
• Ketawang mijil wigaringtyas : gending yang biasa dimainkan untuk mengiringi prosesi sungkeman pada pernikahan adat jawa.
• Mbok, Sekar nyuwun pangestunipun : Bu, Sekar minta restu.
• Wani ngalah dhuwur wekasane : berani ngalah itu mendatangkan kemuliaan.
• Garwa (sigaraning nyawa) : belahan jiwa
• Sanggul bouffant : gaya sanggul sasak tinggi. Seluruh bagian rambut digulung ke dalam hingga berbentuk seperti sarang lebah.
• Félicitations pour votre mariage. Je te souhaite du bonheur : selamat atas pernikahanmu. Semoga bahagia.
• Merci d'être venu. Cela signifie beaucoup pour nous : terimakasih atas kedatanganmu. Kedatanganmu sangat berarti untuk kami.
• Ojo kesusu : jangan tergesa-gesa


Order Novel

Comments