Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part21

CANTING PART 21
Oleh Fissilmi Hamida


Tanpa menunda, Hadi langsung merengkuh dan memeluk erat sosok di hadapannya, membiarkannya kembali terisak dalam kubangan airmata, mencoba turut merasakan derita hatinya. Sungguh, hati Hadi selalu ikut teriris kala sigaraning nyawanya menangis. Ia tak tahu lagi harus bagaimana, karena ia tahu hati istrinya tengah hancur porak poranda. 


Hadi semakin mengeratkan pelukannya, Sekar kian deras berurai airmata.


Hingga beberapa menit keheningan, suasana masih sama. Keduanya bergeming di posisi semula, tanpa sedikitpun kata terlontar dari bibir keduanya. Namun perlahan, bulir-bulir bening Sekar mulai berkurang kapasitasnya, meski napasnya jelas terdengar lantaran isakannya.


Sambil terus mengeratkan rengkuhannya, Hadi menempatkan dahunya di atas kepala Sekar yang tengah terbenam di dadanya. Ia sungguh tak mengira, Ajeng bisa begitu jauh mengambil jalannya. 


Cinta? Yang benar saja.


Sejurus kemudian, sekelebat pikiran mengganggu angannya. Bertemu Ajeng, jelas itu hal yang tak akan pernah diharapkan istrinya. Permintaan Ajeng agar diijinkan menjadi madunya, tak usah ditanya. Itu adalah hal yang teramat sangat menorehkan luka. Tapi apa yang kemudian membuat Sekar menangis tanpa henti seperti ini? Betulkah semata karena permintaan Ajeng? Ataukah....
 

Duh, Gusti....
 

Hadi memejamkan matanya. Ia menyadari satu hal yang tiba-tiba muncul di benaknya.
 

Hadi melepaskan rengkuhannya, lalu jemarinya bergerak memegang kedua pipi Sekar, hingga kini keduanya berhadapan, beradu pandang.
Ditatapnya manik mata sigaraning nyawanya yang masih basah oleh kristal bening kesedihannya. Hidung mbangirnya memerah, lantaran terlalu lama ia menumpahkan tangis gelisah.
Jemari Hadi kembali bergerak, menghapus basah di wajah istrinya, tanpa sedikitpun mengalihkan tatapan hangatnya.
 

"Beritahu aku, apa yang membuatmu terus tergugu," kata Hadi, segera setelah ia dapati wajah istrinya tak basah lagi.
Sekar mengernyitkan dahinya.
Kenapa Mas Hadi masih bertanya? Bukankah sudah sangat jelas apa penyebabnya?
Sekar mendesah. Ia kembali gundah.
"Mas sudah tahu apa sebabnya," jawab Sekar, sedikit kesal.
Jemari Hadi berpindah lagi. Kini jemarinya menggenggam erat jemari belahan jiwanya.
"Aku yakin tangisanmu bukan semata karena permintaan Ajeng," kata Hadi. Sekar memejamkan mata. Ia sungguh tak mengerti.
Ada apa denganmu, Mas?
"Aku tidak tahu maksud Mas. Aku sedang tidak bisa berpikir apa-apa, " kata Sekar, lalu melepaskan jemarinya dari genggaman Hadi.
Sekar merebahkan dirinya, menghadap ke dinding ke kamarnya, menutup wajah dengan guling di sampingnya. Tangisnya kembali pecah.
Hadi mendesah.
Ah, seharusnya ia tahu istrinya tengah resah, seharusnya ia mengerti istrinya tengah tersakiti, seharusnya ia memahami istrinya butuh waktu untuk bisa ia ajak bicara dari hati ke hati, sebab saat ini sang istri masih digelayuti emosi yang begitu tinggi.
Hadi merutuki dirinya.
"Maafkan aku. Aku tidak bermaksud membuatmu kesal dengan perkataanku," ucapnya tulus, sembari mengusap punggung Sekar yang masih terus terguncang.
Tak ada jawaban. Sekar masih tetap membenamkan kepalanya, hingga guling bersarung motif batik itu basah oleh kristal beningnya.
Hadi kini maklum melihatnya.
"Baiklah, menangislah selama yang kamu mau, jika itu memang bisa sedikit melegakan sesaknya dadamu," ucap Hadi lagi.
Sekar terus meratapi diri. Entah mengapa ia tiba-tiba merasa kesal pada Hadi.
Sudah tahu apa sebabnya, kenapa masih bertanya juga? Tidakkah dirimu peka?
Sekar masih berkutat dengan suara-suara yang berkecamuk di hatinya saat ia mendengar langkah-langkah kaki Hadi menjauh darinya, dengan suara seretan kruk yang mengiringinya. Entah hendak kemana, tapi Sekar tak mempedulikannya. Ia hanya ingin menangis menumpahkan kesedihan dan kekesalannya.
Tiba tiba...
 

"Pyar!"
Suara sebuah benda kaca yang pecah karena bersentuhan dengan lantai terdengar nyaring memekakkan telinga. Sepertinya dari arah dapur suara itu bermuara.
Mas Hadi?
Reflek, Sekar segera bangkit dari posisinya, melompat dari tempat tidur, lalu berlari menuju sumber suara. Ia khawatir ada apa, sampai-sampai ia lupa menghapus sisa airmatanya. Ia bahkan membiarkan guling yang tadi dipeluknya terlempar ke lantai begitu saja. Ia sungguh takut Hadi kenapa-kenapa.
Sekar menutup mulutnya sesampainya ia di tempat sumber suara yang tadi menghentakkannya. Ia trenyuh melihat suaminya tengah bersusah payah memunguti pecahan gelas kaca yang tersebar di sekelilingnya.
"Biar aku saja, Mas."
Sekar langsung mendekat, tak tega melihat suaminya yang tengah terduduk di lantai dengan kruk yang ia letakkan di hadapannya.
"Mas kenapa tidak bilang kalau mau minum? Aku bisa mengambilkannya," kata Sekar kemudian, setelah serpihan gelas kaca itu tersingkir sempurna.
Hadi mengisyaratkan Sekar untuk membantunya berdiri.
"Aku mau mengambilkan air minum ini untukmu, untuk menenangkanmu. Tapi rupanya terlalu sulit untuk membawanya dengan keadaanku seperti ini," jelas Hadi, setelah ia berhasil berdiri tegak, lalu berdiri berhadapan dengan istrinya.
Sekar kembali berlinang airmata. Bulir keharuan menyeruak di seisi relung hatinya.
Mas Hadi, kamu manis sekali.
"Lho, lho, kenapa menangis lagi? Aku kira sudah selesai tadi." Hadi keheranan.
Tak ada jawaban, Sekar langsung mendaratkan sebuah pelukan. Ia memeluk suaminya, erat.
"Maafkan aku, Mas. Aku mengabaikanmu tadi," ucap Sekar, tulus dari hatinya. Hadi tersenyum mendengarnya.
 

"Tidak apa-apa. Aku bisa memakluminya. Kamu masih berselimut emosi. Seharusnya aku memberikanmu waktu lebih lama lagi, tidak langsung mengajakmu bicara serius seperti tadi," kata Hadi, sembari memberikan sebuah kecupan di ubun-ubun istrinya.
"Sekar?" panggil Hadi kemudian, setelah beberapa detik hening tanpa percakapan.
"Ya?" jawab Sekar.
"Umm... bagaimana kalau kita duduk saja? Tidak nyaman rasanya berdiri dengan kruk seperti ini sambil dipeluk erat sekali," kata Hadi.
Sekar tak langsung melepaskan pelukannya. Ia justru mendongakkan wajahnya hingga bertatapan dengan suaminya.
"Kenapa tidak nyaman?"tanganya.
"Karena aku tidak bisa membalas pelukan eratmu. Tapi jika kita duduk, kedua tanganku terbebas dari kruk ini dan aku bisa membalas pelukan eratmu tadi."
Hadi mengerling manja. Sekar sedikit tertawa, sambil menghapus sisa bulir bening yang masih kentara di pelupuk matanya. Keduanya lalu beriringan, berjalan menuju kursi di ujung ruangan. Sesekali Hadi mencuri pandang. Sekar sudah tampak lebih tenang.
"Sudah siap untuk bicara serius?" tanya Hadi, sembari menatap lekat wajah sang istri, segera setelah mereka mendudukkan diri.
Sekar mengangguk.
"Janji tidak menangis lagi?" goda Hadi. Sekar menjawabnya dengan sebuah pukulan kecil di pundak Hadi.
Hadi meraih jemari Sekar, lalu menggenggamnya, erat, seperti yang biasa dilakukannya.
"Aku tadi belum selesai bicara. Boleh aku lanjutkan?" tanya Hadi, sekaligus kembali memastikan istrinya sudah tidak begitu digelayuti emosi.
Sekar kembali menganggukkan kepalanya, sebagai ganti jika ia berkata iya.
"Begini, Sayang. Dengarkan aku. Aku tadi belum selesai bicara. Ingat saat tadi aku bilang bahwa tangisanmu bukan karena permintaan Ajeng semata?"
Sekar hanya bisa mengangguk, lalu menunduk. Sejujurnya ia masih belum mengerti maksud suaminya.
Bukan semata karena permintaan perempuan pengganggu itu?
Lalu apa?
Sekar menghela napas untuk menghalau emosi yang hampir saja kembali muncul di dadanya.
"Sekar, aku tahu, kamu menangis pilu karena Ajeng menemuimu. Aku juga sangat tahu kamu terus tergugu karena permintaan konyol itu. Tapi, tidakkah kamu menyadari sesuatu?" kata Hadi.
Sekar mengggerak-gerakkan bola matanya, berharap ia menemukan jawaban atas pertanyaan suaminya, sesuatu yang mungkin ia tak menyadarinya.
Apa? Apa, Mas? Katakan saja.
Sekar mendesah, lalu kembali mengeleng-gelengkan kepalanya. Hadi tersenyum melihatnya.
"Jujurlah padaku. Apa kamu takut aku akan mengiyakan permintaan itu?"tanya Hadi. Sekar tersentak mendengarnya.
"Disadari atau tidak, kamu pasti mengkhawatirkan itu sehingga kamu tidak bisa menghentikan tangisanmu. Ajeng menemuimu, kamu bisa dengan mudah berlalu. Ajeng memintamu mengijinkannya menjadi madumu, kamu tinggal bilang tidak jika sebagai jawaban atas ketidaksetujuanmu. Tapi kekhawatiranmu jika aku akan mengiyakan permintaan itu, itulah yang sesungguhnya mengganggu pikiranmu, mengusik hatimu dan mengaduk emosimu," jelas Hadi. Jemarinya masih terus menggenggam jemari Sekar yang kini sedikit gemetar.
Sekar menundukkan pandangan.
Benar, dari tadi sisi-sisi hatinya bercengkerama, membisikkan sesuatu yang membuatnya semakin gundah gulana.
Bagaimana jika Mas Hadi mengiyakan permintaan itu?
Bagaimana jika Mas Hadi setuju menjadikannya sebagai maduku?
Bagaimana jika Mas Hadi kalah oleh rasa kasihan sehingga tergerak untuk menarik perempuan itu dalam sebuah ikatan?
"Benarkah tebakanku?" tanya Hadi, memecah kesunyian yang tercipta lantaran Sekar terhanyut dalam angannya.
Lagi-lagi tak ada jawaban. Hanya sebuah isakan yang tiba-tiba terdengar.
Tak perlu kata-kata, Hadi langsung mengerti arti isakan istrinya. Ia bergeser, hingga pahanya berdempetan dengan paha istrinya, membuatnya leluasa untuk kembali merengkuh istri tercinta, membenamkan wajah yang kembali berurai airmata itu di dadanya.
"Sekar, sayangku. Kamu tahu bagaimana terbentuknya sebuah mutiara? Mutiara sejatinya berawal dari sesuatu yang seolah remeh, tak ada harganya, seperti butiran pasir yang tak ada nilainya. Namun siapa sangka ia akan menjelma menjadi keindahan paripurna, setelah bertahun-tahun ia ditempa di dalam gelapnya perut kerang yang berada di dalam pekatnya dasar lautan. Itulah dirimu. Kamu lah mutiara itu. Mungkin kamu terlahir sebagai sosok biasa, yang semua orang tak memandangmu sebagai sosok berharga. Namun bertahun-tahun ditempa segala uji dan coba, keindahanmu justru semakin memesonakan mata, membuatku terpikat karenanya."
Sekar mengangkat pandangannya. Kini ia mulai membalas tatapan mata suaminya.
"Susah payah aku mendapatkanmu hingga akhirnya aku bisa memilikimu. Layaknya mutiara, ibaratnya aku harus berenang ke dasar lautan, lalu mengeluarkanmu dari perut kerang sebelum akhirnya keindahanmu bisa kupegang." Hadi menghela napas perlahan.
"Sekar, sudah ada sebuah mutiara indah yang kugenggam, yaitu kamu. Aku tidak akan tergoda perhiasan lain meskipun itu berlian yang berkilauan. Hanya kamu yang kuinginkan, aku tak peduli meski mungkin ada sosok lain yang menyodorkan diri agar aku menjadikannya perhiasan tambahan. Percayalah, aku sudah cukup denganmu, hatiku hanya berhenti di hatimu."
Hadi terus menatap istrinya dan mengeratkan genggamannya sembari memaparkan jalinan aksaranya.
Seutas senyuman, sekaligus bulir bening keluar bersamaan. Sekar diselimuti sebuah keharuan demi mendengar apa yang baru saja Hadi katakan.
"Maafkan aku, Mas. Maafkan aku," isaknya. Hadi membalasnya dengan sentuhan mesra di pundak istri tercinta.
"Maaf lagi-lagi ada ragu menggelayutiku, membuatku takut Mas Hadi akan mengiyakan permintaan perempuan itu," ucap Sekar lagi, di tengah isakannya. Namun kali ini isakannya berbeda, isakan kesedihan yang telah bermetamorfosa menjadi sebuah isakan keharuan dan... kelegaan.
"Tidak perlu meminta maaf, Sayang. Aku anggap reaksimu itu sebagai bukti betapa besar cintamu padaku, betapa besar rasa takutmu untuk kehilanganku," hibur Hadi, lalu jemarinya menari, menghapus bulir-bulir sang istri.
Keduanya sejenak beradu pandang, lalu kemudian saling membenamkan diri dalam pelukan, rengkuhan yang begitu menenangkan.
"Nanti malam ikutlah denganku," kata Hadi kemudian, setelah keduanya berpindah dari kursi di sudut ruangan ke peraduan.
"Kemana?" tanya Sekar.
"Ikutlah saja. Nanti kamu akan mengetahuinya. Tapi berjanjilah padaku." Hadi memegang dagu istrinya, mengangkatnya, hingga wajah ayu yang masih sendu itu sedikit mendongak.
"Berjanji apa?" tanya Sekar lagi.
"Saat nanti malam kamu ikut denganku, aku tidak mau ada sedikitpun semburat kesedihan di wajahmu," kata Hadi, membuat Sekar penasaran kemana suaminya akan membawanya malam nanti.
"Janji?"
Telunjuk Hadi menyentil hidung Sekar, menyentaknya yang belum mengiyakan janjinya.
"Janji?" ulang Hadi lagi.
"Baiklah, aku janji," ucap Sekar sembari mengangguk pasti.
"Sekarang, bersihkan dirimu. Masih ada waktu beberapa jam untuk menghilangkan sembab di wajahmu," kata Hadi.
Wajah keduanya kini dekat berhadapan. Mereka tidak berciuman, namun mereka bergeming, membiarkan hidung mereka saling bersentuhan, sembari manik mata mereka beradu pandang.
Sejurus kemudian, Hadi tertawa, membuat Sekar terheran-heran karenanya.
"Kenapa?" tanyanya.
"Matamu... tampak seperti mata panda," jawab Hadi tanpa bisa menahan tawanya, membuat Sekar secepat kilat mendaratkan cubitannya.
Kanjeng Ibu yang baru saja masuk rumah ikut tersenyum mendengarnya. Mereka terlalu larut dalam suasaha, hingga keduanya tak menyadari saat Kanjeng Ibu perlahan menutup pintu kamar mereka, yang sedari tadi dibiarkan setengah terbuka.
**********
Setengah berdendang, Ajeng menata rambutnya sambil berkaca, memastikan penampilannya telah sempurna. Ia meraih sebagian rambut dari sisi kanan dan sisi kiri, lalu disatukan ke belakang dengan sebuah jepit berwarna hitam. Sedang sisanya ia biarkan tergerai dengan sisa rambut di sisi sebelah kirinya ia biarkan menjuntai ke depan.
Ia ada janji temu dengan seseorang dan ia ingin membuat penampilannya tanpa cela.
Piawai, jemarinya meraih kotak transparan berisi koleksi perhiasannya, mengambil sepasang anting model dangle yang didesain menjuntai jatuh ke bawah telinga berwarna gold, senada dengan kalung yang dipakainya. Ajeng masih terus berkaca sembari membenarkan letak kalungnya. Ia tersenyum. Lehernya tampak begitu jenjang.
Ia lalu menyemprotkan parfum yang tersimpan rapi di dalam botol kaca berbentuk kotak berpita ke sekujur tubuhnya. Kini ia beranjak dari kursi riasnya, berputar sejenak, memastikan tak ada yang salah dengan pilihan busananya; atasan hitam model batwing dengan bagian pundak yang sedikit terbuka, dipadu dengan celana tribal bermotif berwarna kombinasi putih dan abu-abu. Sebuah clutch atau tas bertali panjang dan juga heels warna hitam membuat tampilannya semakin sempurna.
Ajeng berpose sekali lagi, lalu tersenyum penuh arti sebelum ia meraih kunci mobil sedan mewahnya.
Tidak ada 5 menit, Ajeng sudah duduk di dalam mobilnya, lalu melaju, menuju Sheraton Mustika Yogyakarta Resort di jalan Laksda Adisutjipto Yogyakarta, tempatnya membuat janji temu. Entah, rasa bahagia kini menyelimuti relung hatinya. Ia sudah membayangkan akan makan malam berdua dengan memilih tempat duduk sebelah jendela hingga ia bisa leluasa menandang kerlap-kerlip cahaya. Sesekali ia tersenyum, sambil mengaca pada spion tengah mobilnya.
Ia kembali berdendang mengikuti alunan lagu La Mer, lagu berbahasa Perancis yang ia nyalakan, tanpa peduli antrian panjang kendaraan di sepanjang perjalanan.
La mer
les a bercés
le long des golfes clairs
et d'une chanson d'amour,
la mer
a bercé mon cœur pour la vie.
 

**********
"Mas, apa yang kurang?" tanya Sekar.
Hadi yang sedang duduk membaca beberapa pesan di ponselnya mendongakkan kepala. Mulutnya menganga, tak ada kedipan di matanya. Ia terpesona.
"Kamu... sempurna," ucapnya.
Manik matanya terus memandang istri tercinta yang baru saja keluar dari pintu kamar. Ia sungguh menawan, dalam balutan gaun satin warna hijau tua dengan aksen pita dan juga kerut di bagian perutnya. Hadi berdesir saat jemari lentik Sekar bergerak, membenarkan pashmina warna putih dengan bunga-bunga hijau tua yang membalut kepalanya. Penampilannya kian paripurna dengan tas tangan dan juga heels 5 cm warna putih, gelang tumpuk yang menghiasi tangan kanannya, juga kalung warna perak dengan liontin berbentuk hati yang menjuntai panjang. Hadi masih tak berkedip memandang sosok yang kini berjalan ke arahnya. Riasannya sederhana, namun rona keanggunan jelas tampak di sana.
"Kalau begitu, ayo berangkat," kata Sekar, lalu membantu Hadi berdiri dengan kruknya.
Sekar tersenyum. Meski dengan alat bantu kruk seperti itu, pesona Hadi tetap tak terelakkan. Ia menggunakan kaos putih dipadu blazer slimfit semi formal warna hitam dengan bagian lengan yang ia tarik ke atas sampai ke bawah siku, hingga jam tangan yang melingkari tangan kirinya semakin tampak keberadaannya. Celana skinny fit jeans warna midnight blue dan sepatu kulit warna coklat tua menambah kesan maskulin pada penampilannya.
"Sebetulnya kita mau kemana sih, Mas?" tanya Sekar sembari membenarkan letak kacamata berbingkai rectangle dengan gagang berbahan titanium di wajah Hadi.
"Ikutlah saja. Tapi ingat, kamu harus selalu tersenyum bahagia," jawab Hadi, lalu keduanya berjalan bersama. Taxi yang mereka pesan sudah menunggu di halaman rumah mereka. Sekar semakin penasaran kemana Hadi akan membawanya.
"Kenapa membawa ransel, Mas?" tanya Sekar, segera setelah mobil yang ditumpangi mereka berjalan. Sebelum masuk mobil tadi, Hadi meminta Sekar untuk mengambil ransel yang tertinggal di dalam.
"Ssst, jangan banyak tanya. Menurutlah saja," jawab Hadi, masih tetap dalam sikap misteriusnya.
Tepat pukul 7 malam, sampailah mereka di tempat tujuan.
"Mas mengajakku menginap di sini?" tanya Sekar. Hadi menganggukkan kepalanya.
Keduanya kembali berjalan beriringan menuju restoran di lantai atas, setelah check in dan meletakkan ransel yang ternyata berisi pakaian ganti itu di kamar garden view room yang Hadi pesan, sebuah kamar dengan arsitektur Jawa yang mewah dan ornamen yang unik, yang menghadap langsung ke sebuah taman dengan segala keindahan yang ditawarkan.
Mas Hadi romantis sekali.
"Kita temui seseorang dulu ya," kata Hadi, menghentak Sekar yang masih terkagum pada pesona suaminya.
"Eh, iya, Mas. Kita akan bertemu siapa?" tanya Sekar.
"Kamu akan segera tahu. Tapi tolong, ingat janjimu," ucap Hadi.
Sekar penasaran, kebingungan. Entah siapa yang akan mereka temui hingga Hadi membuatnya berdandan paripurna seperti ini, juga berjanji akan tetap tersenyum apapun yang terjadi. Sejurus kemudian rasa penasaran di hatinya sirna, berubah jadi getar dahsyat yang semakin susah diterjemahkan rasanya, saat ia melihat sosok yang sebentar lagi akan mereka temui segera. Sosok itu tengah duduk sendirian, sosok perempuan yang telah membuatnya menangis seharian.
"Mas...."
Sekar memegang erat lengan Hadi. Sungguh rasanya ia ingin menangis saja. Tapi ia sudah berjanji pada Hadi untuk tetap menyunggingkan senyumnya.
"Trust me, Love," bisik Hadi di telinga Sekar, saat jarak keduanya dengan Ajeng hanya tinggal beberapa jengkal.
"Kamu cukup diam saja, tersenyum, dan bersikaplah seperti biasa. Biar aku yang bicara," bisik Hadi lagi.
Ajang mendesah. Dadanya serasa ingin pecah. Beberapa saat yang lalu rasa bahagianya begitu membuncah, saat ia membaca pesan Hadi yang mengajaknya untuk bertemu malam ini. Ia kira Hadi akan datang sendiri, lalu mereka berdua bisa makan malam romantis, dan bicara hingga dini hari. Ternyata Hadi tidak sendiri, membuat rasa bahagia di hati Ajeng menguap begitu saja, tanpa sisa.
"Sudah lama, Jeng?" tanya Hadi, lalu mendudukkan diri di kursi dengan bantuan sang belahan hati.
"Thank you, Love," kata Hadi pada Sekar yang kini telah duduk di sebelahnya.
"You're welcome," jawab Sekar, tersenyum, lalu mengerling manja.
Ajeng mendengus. Tak tahan rasanya melihat tingkah romantis Sekar Hadi yang terpampang nyata di hadapnya.
"Baru saja," jawab Ajeng kemudian, singkat.
"Ada apa mengajakku bertemu di sini?" tanya Ajeng kemudian. Ia sungguh merasa kesal. Pada titik ini, bahagianya telah sempurna pergi, yang tersisa hanyalah bias emosi.
"Kebetulan aku dan istriku akan menghabiskan malam di sini. Jadi sekalian saja, aku mengajakmu untuk bertemu di sini," jelas Hadi.
Ajeng memalingkan muka, lantaran tiba-tiba saja Hadi meraih jemari istrinya. Keduanya kini saling menggenggam.
"Aku ingin membicarakan tentang permintaanmu yang siang tadi kamu sampaikan pada istriku." Hadi membuka percakapan setelah Ajeng hanya membisu dalam keheningan.
Hati Ajeng tiba-tiba berdesir.
Mas Hadi mengajakku bertemu untuk membicarakan permintaanku tadi?
Ia juga membawa istrinya ke sini.
Apa itu berarti, permintaanku ia setujui?
Ajeng mengukir sedikit senyuman. Tiba-tiba saja rongga dadanya dialiri angin kesejukan. Sedang Sekar semakin mengeratkan genggaman, berusaha tampak tenang, meski sejujurnya hatinya berdegup kencang.
"Jadi?"
Ajeng menatap Hadi penuh harap.
Hadi menghela napas perlahan, lalu menyunggingkan sebuah senyuman.
"Jawaban yang sudah disampaikan istriku padamu, maka itu juga menjadi jawabanku," kata Hadi. Sejenak, ia melirik Sekar yang ternyata juga tengah meliriknya.
Napas Ajeng tersengal. Mendengar perkataan Hadi, rasanya bagai terkena ribuan kubik lahar panas yang ditumpahkan langsung di atas kepalanya.
"Teganya kamu, Mas."
Ajeng mulai terisak. Sekar kembali memalingkan muka. Sejujurnya ia muak melihat perempuan penggoda suaminya itu berlinang air mata.
Air mata buaya. Kamu pasti sengaja melakukannya agar suamiku menaruh rasa tak tega, berharap suamiku berkata iya.
"Kamu salah, Jeng. Justru aku tega jika aku mengiyakan permintaanmu. Aku tidak mencintaimu, sebab cintaku sudah sepenuhnya dimiliki oleh istriku. Andai kamu menjadi istri keduaku, aku pasti akan menyia-nyiakanmu. Kamu tidak akan pernah bahagia bersamaku," imbuh Hadi. Ajeng semakin berurai airmata. Sekar masih memalingkan pandangannya.
"Tapi witing tresno jalaran saka kulina, Mas. Cinta bisa muncul karena terbiasa." Ajeng belum mau menyerah juga.
"Benar, witing tresno jalaran saka kulina. Masalahnya, aku tidak mau membiasakannya, karena aku tidak menghendaki cinta bersamamu itu ada. Aku sudah punya cinta yang sempurna."
Betapa halus Hadi mengurai aksara, namun bagi Ajeng, perkataan Hadi terasa bagai sayatan perih di hatinya.
Ajeng kian tergugu, membuat pelayan yang datang membawakan minuman keheranan.
"Tapi, Mas. Tidakkah kamu menginginkan syurga? Bukankah hal ini adalah salah satu jalan menuju syurga yang dijanjikanNya?" kata Ajeng di tengah isakannya.
Sekar mendengus perlahan. Piawai sekali Ajeng memainkan perkataan. Setelah apa yang dilakukannya, bagaimana bisa perempuan itu bicara tentang syurga?
"Salah satu kan, kamu bilang? Berarti masih ada cara lainnya. Benar mungkin jalan ini bisa menuntun seseorang menuju pintu syurga, tapi aku lebih memilih melalui jalan lainnya."
Hadi kembali menatap Sekar, mengedipkan mata kanannya, berusaha menyampaikan pesan padanya agar ia tenang saja. Hadi tahu sekar tak tenang, sebab Hadi jelas meraskaan jemari Sekar yang digenggamnya mendadak terasa dingin dan gemetar.
Ajeng menundukkan kepalanya, meratapi nasibnya. Ia nelangsa.
"Lagipula, Jeng, bagaimana mungkin aku berharap syurga jika di waktu yang sama, ada seseorang yang hancur, lantaran tak ridha miliknya kamu miliki juga."
Kini giliran Sekar yang menatap Hadi. Sungguh, kalimat yang baru saja teruntai dari bibir Hadi membuatnya melayang tinggi, di antara dandelion-dandelion yang beterbangan diterpa angin musim semi.
Ajeng semakin tenggelam dalam tangisan, hatinya betul-betul hancur berantakan.
"Apa menurutmu syurga bisa diraih dengan cara kita berjalan sambil menabur garam di atas luka orang lain yang menganga? Aku kira tidak, Jeng."
Hadi masih terus melanjutkan perkataannya. Sejujurnya Ajeng ingin berteriak agar Hadi menyudahinya. Ia tak sanggup mendengarnya lebih lama.
"Tapi aku mencintaimu, Mas," isaknya, terbata. Hadi menggelengkan kepalanya.
"Bukan, Jeng. Kamu tidak mencintaiku. Kamu hanya sedang diselimuti nafsu," kata Hadi.
"Mungkin benar kamu pernah mencintaiku. Sayangnya, cintamu telah menjelma menjadi nafsu. Cinta itu seharusnya membawa kita pada kebaikan, bukan pada kemaksiatan. Yang kamu lakukan selama ini? Tanpa malu menggangguku, tanpa ragu mengirimkan pesan-pesan cinta untukku, kamu kira itu cinta? Tidak, Jeng. Sekali lagi, itu nafsu, sehingga kamu menghalalkan segala cara untuk meraihku, tanpa peduli pada sosok di sebelahku yang tiap hari berlinang airmata karena ulahmu," imbuh Hadi, membuat isakan Ajeng semakin menjadi-jadi.
"Renungkan perkataanku. Saatnya kamu bangkit dan melukis bahagiamu. Jangan lagi menghancurkan diri seperti ini. Ini bukan Ajeng yang kukenal selama ini." Hadi menutup kalimatnya, dengan mencium tangan Sekar yang sedari tadi masih digenggamnya.
"Ini, minumlah. Tenangkan dirimu, kami berdua pamit dulu," kata Hadi sambil menyodorkan segelas minuman, lalu berlalu, meninggalkan Ajeng yang kian pilu.
"Aku benci kamu, aku benci kamu!"
Ajeng meracau di tengah isakannya, cukup keras hingga membuat Sekar hampir mengentikan langkahnya. Namun Hadi menggelengkan kepalanya, mengisyaratkan pada Sekar untuk tak mempedulikannya, untuk tetap melangkahkan kakinya.
Sekar menuruti suaminya, lalu kembali berjalan, berdampingan.
"Terimakasih, Mas," ucapnya pelan.
**********
 

 NOTES :
• Sigaraning nyawa : belahan jiwa
• Mbangir : mancung
• Warna midnight blue : salah satu jenis warna biru gelap.
• Bingkai rectangle : bingkai persegi panjang.
• Garden view room : kamar yang langsung menghadap taman.
• Trust me, Love : percayalah padaku, Sayang. 

 

Novel Canting Part 1, Novel Canting Part 2, Novel Canting Part 3, Novel Canting Part 4, Novel Canting Part 5, Novel Canting Part 6, Novel Canting Part 7, Novel Canting Part 8, Novel Canting Part 9, Novel Canting Part 10, Novel Canting Part 11, Novel Canting Part 12, Novel Canting Part 13, Novel Canting Part 14, Novel Canting Part 15, Novel Canting Part 16, Novel Canting Part 17, Novel Canting Part 18, Novel Canting Part 19, Novel Canting Part 20, Novel Canting Part 21, Novel Canting Part 22, Novel Canting Part 23, Novel Canting Part 24, Novel Canting Part 25, Novel Canting Part 26, Novel Canting Part 27, Novel Canting Part 28, Novel Canting Part 29, Novel Canting Part 30, Novel canting fissilmi hamida part 21, novel canting fissilmi hamida part 23,  novel canting fissilmi hamida pdf, Novel canting fissilmi hamida part 22, download novel canting fissilmi hamida, jual novel canting fissilmi hamida, novel canting fissilmi hamida part 24, sinopsis novel canting fissilmi hamida, cerpen canting fissilmi hamida, sinopsis novel canting karya fissilmi hamida, novel canting part 4, sinopsis canting karya fissilmi hamida

 



Order Novel

Comments