Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part8

CANTING PART 8
Oleh Fissilmi Hamida
Sekar semakin kikuk. Lagi-lagi ia bingung harus bagaimana lantaran Hadi masih belum melepaskan pelukannya. Padahal Hadi sendiri yang baru saja mengajaknya untuk segera ke kamar karena Maghrib hampir datang. Namun ia tak kunjung beranjak juga. Bahkan, pelukan itu semakin erat dirasakannya.
Sekar menundukkan kepalanya, sambil memainkan jemarinya. Rasanya kedua kakinya melayang, tak lagi menapaki bumi.
"Den...," panggilnya, ragu.
"Hmm?"
Hadi hanya berdehem untuk menjawab panggilan istrinya. Ia masih membenamkan kepalanya di pundak Sekar. Memejamkan matanya, menikmati sinar keemasan mentari yang hendak beranjak pergi. Namun sejurus kemudian, Hadi lebih merapatkan kepalanya hingga bibirnya menyentuh telinga Sekar.
"Jangan panggil aku den lagi. Ora ilok dimirengke. Panggil aku Mas. Mas Hadi," bisiknya kemudian.
Sekar memejamkan mata. Getaran aneh itu semakin terasa.
"Itu... sudah mau maghrib, Den. Eh, Mas," kata Sekar, mengingatkan.
Rasanya aneh sekali menanggil orang yang sudah sedari kecil dipanggilnya den dengan sebutan mas.
Hadi bergeming. Ia tetap pada posisinya untuk beberapa saat. Namun sejurus kemudian, ia menggeser tubuhnya dari belakang Sekar ke sebelahnya. Tangan kanannya merangkul pundak Sekar, sedang tangan kirinya meraih dan menggenggam jemari tangan kiri Sekar. Sekar hanya bisa pasrah diperlakukan demikian, meski sejujurnya jantungnya berdegub tak karuan.
"Sekar, coba lihat langit itu," bisiknya lembut. Sekar menoleh sekilas, lalu kembali menatap indahnya langit senja.
"Lihatlah. Ada berapa warna yang tampak di sana?" tanyanya
"Banyak," jawab Sekar singkat. Ia masih berusaha menekan geletar-geletar yang menjalari seluruh tubuhnya.
"Benar. Saat senja tiba, tidak hanya satu warna saja yang bertahta. Ada perpaduan berbagai warna di sana. Ada hitam, jingga, kuning keemasan, putih, biru, hingga merah yang merona. Kesemua warna itu berbaur menjadi satu, menciptakan keindahan siluet warna senja," jelas Hadi panjang lebar. Sekar masih belum paham arah pembicaraan Hadi.
Hadi melepaskan tangan kanannya dari pundak Sekar, sedang tangan kirinya membimbing Sekar untuk beringsut menghadapnya. Kini keduanya saling berhadapan.
"Aku ingin kita seperti itu, Sekar. Aku dan kamu, sudah pasti kita berbeda dalam banyak hal. Tapi mari kita satukan perbedaan kita untuk membangun sebuah keindahan dalam pernikahan kita," katanya lagi, sembari menggenggam kedua tangan Sekar.
"Tapi apa mungkin perbedaan warna yang mencolok tetap bisa bersatu menciptakan keindahan, Mas?" tanya Sekar.
Sejujurnya, ia masih terus merasa rendah diri dengan statusnya yang hanya seorang rewang. Ia merasa masih belum pantas berdiri di samping Hadi.
Hadi melepaskan tangan kanannya. Perlahan, Jemarinya bergerak memegang pipi Sekar, sementara tangan kirinya masih menggenggam jemari Sekar.
"Kamu tahu bagaimana hitamnya gelap malam, kan? Hitam itu sangat kontras dengan warna putih. Tapi lihatlah, putihnya sinar bulan hanya akan terlihat menawan saat berada di kegelapan malam," jelasnya bijak, membuat Sekar semakin terpana karenanya. Hadi selalu bisa membuat keraguannya hilang, membuat kegelisahannya banyak berkurang.
"Jangan pernah merasa tak pantas lagi. Dari milyaran manusia yang tercipta, dari puluhan, bahkan ratusan orang yang berada di sekitarku, hatiku berhenti di kamu. Itu artinya, kamu memang pantas untukku," katanya.
Sekar menyunggingkan senyuman. Bulir-bulir segar kesejukan kembali mengaliri hatinya yang sempat kembali diterpa kegelisahan.
Keduanya lalu bergandengan, berjalan beriringan melangkah menuju kamar yang sudah dihias sedemikian rupa untuk malam pengantin mereka. Namun langkah Sekar terhenti saat ia sudah berada tepat di depan pintu kamar. Ia kembali merasakan semburat keraguan. Selama ini, ia memang sering keluar masuk kamar Hadi. Untuk membersihkan, atau untuk mengambil dan menaruh pakaian. Tapi sekamar dengan Hadi? Tak pernah sekalipun Sekar membayangkan ini.
"Lho, kenapa berhenti?" tanya Hadi. Mata kanannya mengerling manja.
"Kamu malu sekamar dengan suamimu sendiri, hmm?" tanyanya, sembari telunjuknya menyentil dagu lancip Sekar, membuatnya semakin berdebar. Sementara tangan satunya berusaha membuka pintu kamar.
"Bukan begitu, Mas. Tapi... aw!"
Sekar baru saja akan menjelaskan saat tiba-tiba lengan kekar Hadi merengkuhnya, lalu menggendongnya, membuatnya berteriak seketika. Sekar hampir saja meronta, tapi ia urung melakukannya. Ia hanya bisa pasrah Hadi menggendongnya seperti ini. Tanpa ia sadari, kedua tangannya justru kini melingkar di leher Hadi.
**********
Bulir-bulir bening terus mengalir di wajah Ajeng. Ia terus memeluk guling yang sudah basah terkena linangan airmatanya. Hatinya remuk melihat sosok yang dicintainya siang tadi bersanding di pelaminan dengan gadis yang menurutnya sama sekali tak sebanding dengannya. Perasaannya sungguh teriris. Dokter Rahajeng Sukmawati, putri seorang guru besar di fakultas kedokteran Universitas Gadjah Mada yang juga merupakan dokter Sp.Og terkenal di seantero Yogyakarta, kalah oleh anak seorang rewang yang hanya berasal dari dusun kecil di pucuk gunung Sumbing sana. Bukankah ini memalukan?
Tangisnya semakin keras.
Tapi, salah satu sisi hatinya merutuki dirinya, atas cinta dalam diamnya yang selama ini tak pernah diungkapkannya. Benar, ada kalanya, cinta dalam diam memang indah, namun keindahannya bisa berbalik menjadi sebuah kepiluan jika rasa itu didiamkan terlalu lama.
Ajeng mendesah. Ia sungguh menyesal. Tak seharusnya ia terus menyimpan rasa cintanya pada Hadi dalam diam. Andai saja dulu ia punya keberanian untuk mengungkapkan, mungkin ia dan Hadi sudah terikat dalam ikatan pernikahan. Kalaupun ternyata Hadi tak memiliki rasa yang sama, setidaknya ia tidak menghabiskan waktunya untuk menunggu hal yang sia-sia.
Ajeng terus merutuki kebodohan dirinya, mengingat bahwa tak selamanya cinta dalam diam berakhir indah laksana kisah Ali dan Fatimah, putri kanjeng Nabi.
Diraihnya sebuah foto yang bertengger rapi di meja riasnya, fotonya bersama Hadi di depan Pulteney Bridge, sebuah jembatan klasik yang melintasi sungai Avon di kota Bath, Inggris. Hadi mengajaknya berjalan-jalan ke kota ini saat ia mengunjungi Hadi ke London, sebuah kota di wilayah barat daya Inggris yang disebut-sebut sebagai the most romantic city in England atau kota paling romantis di Inggris.
Ia merasa tengah melayang di antara dandelion-dandelion yang beterbangan saat Hadi mengajaknya ke kota cantik ini. Memang, tak ada hal spesial yang Hadi lakukan. Mereka juga tak hanya berdua saja saat ke sana. Tapi bagi Ajeng, hal itu menorehkan kenangan manis yang terus terpatri di hatinya.
Jemari Ajeng bergetar saat memegang foto itu. Dibelainya wajah Hadi dengan senyum memukaunya di foto itu. Celana panjang, sepatu kulit, coat panjang, dan juga syal yang dipakainya, membuat tampilannya semakin mempesona.
"Suatu hari nanti, aku akan mengajak istriku ke kota ini, duduk bersama di taman romantis Prior Park saat musim semi tiba. Merayakan ulang tahunnya sambil menikmati indahnya pesona bunga musim semi, juga sambil membicarakan masa depan kami berdua nanti," kata Hadi kala itu.
"Memangnya ada yang mau sama kamu, Mas?" goda Ajeng kala itu.
"Aku tidak tahu apa dia mau denganku. Tapi aku pasti akan memperjuangkannya agar dia bisa menemani hari hari di seluruh sisa hidupku," jawab Hadi tenang.
Ajeng membalasnya dengan senyuman penuh arti, sebab kala itu ia yakin bahwa ia adalah sosok yang nanti akan disebut Hadi sebagai istri. Tapi, rupanya ia salah. Hadi tak pernah menganggapnya sebagai sosok yang berarti.
"Kenapa kamu tega sekali, Mas? Kenapa kamu tega membiarkan tahun demi tahun penantianku sia-sia?" isaknya.
"Argh!" teriaknya. Bingkai foto yang tadi dipegangnya, dibanting dengan paksa.
Napasnya kembali tersengal, kesal, saat ia kembali ingat bagaimana gadis ingusan itu membalas ucapannya dengan bahasa Perancis juga. Memang, sejujurnya ia sengaja melakukan itu untuk membuktikan pada Hadi bahwa dalam berbagai hal, terutama dalam hal intelektual, ia jauh lebih tinggi daripada gadis kampung yang ia nikahi. Tapi ulah gadis ingusan tadi, betul betul mempermalukannya di depan Hadi.
Kebencian di hatinya kini kian menjadi-jadi.
**********
Sekar tak mampu menahan airmatanya saat Hadi memegang ubun-ubunnya sambil melafalkan sebuah doa keberkahan. Sedikit ragu, Sekar kemudian meraih tangan Hadi dan takzim mengecupnya, segera setelah Hadi menyelesaikan doanya. Hadi membalasnya dengan satu kecupan kecil di keningnya. Mereka baru saja selesai shalat Maghrib bersama.
"Yuk, makan," ajaknya kemudian, setelah keduanya selesai membersihkan diri.
"Setelah makan, kita bisa bersenang-senang," bisik Hadi perlahah, sambil melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sekar.
Sekar hanya mampu terdiam. Dadanya serasa ingin meledak. Belum hilang gemetar hatinya karena Hadi menggendongnya tadi, kini ia kembali harus menahan gejolak seperti itu lagi.
"Kenapa diam saja? Mau aku gendong lagi?" kata Hadi. Kali ini mata kirinya mengerling genit. Sekar langsung beringsut melepaskan diri dari tangan Hadi, takut digendong lagi.
"Saya... saya bisa jalan sendiri," katanya. Hadi tertawa mendengarnya.
"Où apprenez-vous le français?" tanya Hadi, begitu mereka berdua sampai di tempat makan.
"Mas Hadi bicara apa to?" tanya Sekar, tak paham apa yang baru saja suaminya katakan.
"Où apprenez-vous le français?" Hadi mengulangi pertanyaannya. Sekar menggelengkan kepalanya.
"Saya tidak paham Mas Hadi bicara apa," katanya.
Kini giliran Hadi yang bertanya-tanya. Bukankah tadi siang istrinya bisa menjawab dengan bahasa Perancis? Kenapa sekarang...
"Où apprenez-vous le français, di mana kamu belajar bahasa Perancis?" tanyanya sambil menatap lembut wajah ayu sosok di hadapannya. Ia tampak cantik dengan jilbab hijau tua, dipadu dengan baju terusan panjang warna putih dengan hiasan bunga-bunga hijau tua.
"Saya... saya tidak bisa bahasa Perancis, Mas," jawabnya polos, membuat Hadi semakin bertanya-tanya.
"Tapi, di resepsi tadi..."
"Oh, itu. Saya tidak bisa bahasa Perancis, Mas. Dulu ada rombongan mahasiswa Sastra Perancis UGM yang berkunjung ke sekolah saya. Mereka sedikit mengajari kami. Kebetulan salah satu contoh percakapan yang digunakan adalah contoh percakapan ketika menghadiri sebuah pesta pernikahan. Kebetulan yang diucapkan Mbak cantik tadi sama persis dengan yang dicontohkan waktu itu. Makanya tadi saya tahu dan bisa menjawab dengan bahasa Perancis juga," jelasnya.
Hadi membelalakkan matanya, tapi kemudian ia tak bisa menahan tawanya. Ia sungguh mengira istrinya bisa berbahasa Perancis dengan begitu fasih. Tapi ternyata... Lagi-lagi Hadi tertawa, terutama saat ia ingat mimik muka Ajeng yang mendadak berubah karenanya.
"Mas Hadi mengira saya bisa bahasa Perancis, ya? Pasti sekarang Mas kecewa karena ternyata saya tidak bisa bahasa Perancis," kata Sekar. Ia kembali menundukkan kepalanya.
Hadi menghela napas. Seharusnya ia tidak tertawa. Salah salah, istrinya bisa merasa semakin rendah diri karenanya.
"Lho, kok jadi mbesengut?" tanyanya, mencoba mencairkan suasana.
"Kamu tahu tentang filosofi kopi?" tanya Hadi, sambil menyeruput kopinya yang baru saja disodorkan oleh pelayan. Ia sengaja memesan kopi, berharap segelas kopi ini akan membantu tubuh letihnya tetap terjaga untuk tugas pertamanya sebagai seorang suami malam ini.
Sekar menggelengkan kepalanya. Kepalanya masih menunduk. Rasa malu dan rendah diri yang masih terus menggelayuti membuatnya tak berani menatap suaminya sendiri.
"Sudah, kita lupakan bahasa Perancis. Tidak penting kamu bisa bahasa Perancis atau tidak. Yang penting kamu bisa mengerti bahasa cintaku," katanya. Sekar tersipu mendengarnya.
"Kita bahas filosofi kopi saja. Mau dengar?" tanya Hadi.
Sekar menganggukkan kepalanya. Entah mengapa ia selalu suka saat Hadi berbicara seperti ini. Bijak, seperti yang sering dilakukan simbok selama ini.
"Kamu tahu, kan kalau kopi itu rasanya pahit?" tanyanya. Sekar mengangguk, lalu kemudian menyeruput teh hangatnya.
"Begitu juga dengan kehidupan ini. Kadang akan terasa begitu pahit. Tapi sepahit-pagitnya kopi, kita bisa membuatnya manis dengan cara menambahkan gula. Gula dalam bahasa Jawa disebut gulo, artinya gulangane roso atau mengelola perasaan baik. Apapun yang terjadi, Khusnudhon, selalu berprasangka baik. Kehidupan yang pahit, tak akan begitu terasa sulit saat kita bisa berprasangka baik pada Gusti Pangeran." Hadi kembali menyeruput kopinya, sedang Sekar serius menyimaknya.
"Lalu?" Sekar tertarik mendengar penjelasan suaminya.
"Selanjutnya, agar manisnya merata, gula ini harus kita aduk. Aduk dalam bahasa Jawa disebut udhek, artinya usahane ojo nganti mandek, usahanya jangan pernah berhenti. Selain kita berprasangka baik, kita juga harus terus berusaha untuk membuat kehidupan kita tidak sia-sia, jangan pernah berhenti untuk mencoba mengukir bahagia."
Sekar menatap suaminya, takjub. Sosok di hadapannya ini memang bijak sekali. Hadi membalas tatapannya, lalu mengajak istrinya kembali ke kamar setelah mereka selesai makan.
Sekar merasakan seluruh tubuhnya gemetar saat ia kembali memasuki kamarnya. Sungguh, ia merasa tegang sekali.
Selepas shalat isya, Sekar hanya terdiam di ranjang. Bingung apa yang harus dilakukan. Sedangkan Hadi masih berada di kamar mandi. Entah apa yang dilakukannya.
Sekar terkesiap saat Hadi tiba-tiba meredupkan lampu kamar dan perlahan mendekatinya di sisi ranjang.
Lembut, dilepasnya perlahan jilbab hijau yang menutupi rambut Sekar. Rambut hitam bergelombang itu membuat istrinya semakin tampak menawan. Disibaknya rambut itu perlahan.
"Kamu baik-baik saja?" tanya Hadi, setelah melihat istrinya mendadak terlihat begitu pucat pasi.
Lalu Hadi merutuki dirinya dalam hati. Ia ingat pesan Haryo, sahabatnya saat resepsi tadi.
"Ojo kesusu, Di. Ingat, dia masih 18 tahun."
"Mas Hadi... tidak akan melakukan itu sekarang, kan?" tanya Sekar. Seluruh tubuhnya terasa semakin tegang.
"Saya... saya belum siap," katanya, lalu kemudian terisak.
Hadi tersenyum melihatnya, lalu mendaratkan sebuah kecupan mesra di kening istrinya. Ternyata, malam pengantin bisa semenakutkan ini untuk istri belianya. Diusapnya kepala sosok di hadapannya itu dengan penuh cinta.
"Jangan khawatir. Aku tidak akan melakukan itu sekarang. Aku akan menunggu sampai kamu siap," katanya. Jemarinya lalu bergerak lincah, menghapus airmata sosok yang teramat dicintainya.
Sekar merebahkan dirinya, dengan rasa tegang yang masih menggelayuti seluruh tubuhnya. Namun entah mengapa ketegangan itu menjadi sebuah ketenangan saat Hadi memeluk pinggang rampingnya, membuat matanya kian berat, lalu terlelap.
Pelan, dibelainya rambut sosok yang sudah terlelap itu. Ada rasa syukur, juga rasa bahagia menggelayuti. Namun, ada sedikit sesal juga dalam hati.
"Sia-sia aku minum kopi dua gelas tadi," batin Hadi.


**********
NOTES :
• Ora ilok dimirengke : tidak enak didengarkan.
• Où apprenez-vous le français? : dimana kamu belajar bahasa Perancis?
• Mbesengut : cemberut.


Order Novel

Comments