Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Part6

CANTING PART 6
Oleh Fissilmi Hamida
Hadi menatap Sekar lekat-lekat. Sekar mendadak kikuk, lalu menunduk. Jemarinya bergetar, hatinya semakin berdebar.
“Kanjeng Ibu sudah kondur?” tanya Hadi, berusaha mencairkan suasana setelah ia menangkap rona kebingungan dan keterkejutan di wajah Sekar.
Hadi mengambil sapu yang tergeletak di lantai, lalu menyerahkannya pada Sekar. Sekar menerimanya dengan jemari yang masih bergetar.
“Dereng, Den. Kanjeng Ibu belum pulang,” jawab Sekar. Lalu sejenak hening. Keduanya hanya diam, berkelana dengan rasa dan pikiran masing-masing di pendopo.
“Den Hadi mau saya buatkan wedang jahe? Den Hadi terlihat pucat sekali,” tawar Sekar kemudian, memecah keheningan.
Hadi mengangguk sambil melangkahkan kaki menuju dalem ageng, atau ruang utama di rumahnya. Leher belakangnya terasa begitu nyeri. Sekar mengekornya dari belakang dan langsung berlalu menuju dapur. Hadi hampir saja merebahkan badannya yang sedikit letih di shofa ruang tamu, tapi sejurus kemudian ia memutuskan untuk mengikuti Sekar ke dapur.
Sekar membersihkan 3 batang serai, lalu memotongnya menjadi 3 bagian. Sejurus kemudian, jemarinya lincah menusukkan sunduk ke beberapa buah jahe yang baru saja diambilnya. Sekar membakar jahe itu, lalu membersihkan bagian kulitnya dan mememarkannya. Setelahnya, ia menyimpul selembar daun pandan sebelum kemudian memasukkan ketiga bahan itu untuk direbus bersama-sama dengan campuran gula merah dan sedikit garam. Hadi mengamati itu semua dari pintu dapur, dan Sekar sama sekali tidak menyadarinya.
Sekar, mungkin tak seperti gadis-gadis yang berada di sekelilingnya. Layaknya bunga mawar, siapapun bisa langsung melihat keindahan dan pesona mereka. Bagi Hadi, Sekar ini seperti jahe. Ia tumbuh di dalam tanah, tak tampak oleh mata, tersembunyi di dalam bumi. Namun, meski tumbuh di tempat yang gelap dan sunyi, jahe mampu memunculkan bunga, kembang jahe berwarna campuran putih dan merah muda yang juga tak kalah cantiknya, seperti halnya Sekar yang berhasil menumbuhkan bunga merah muda itu di hatinya. Karenanya, Hadi lebih memilih untuk menggali tanah, membiarkan jemarinya kotor dan kukunya menghitam demi mencari si jahe dari pada langsung memetik mawar-mawar indah nan merekah itu.
Sepuluh menit kemudian, aroma sedap campuran jahe, serai, dan daun pandan menyeruak ruangan. Hadi mengela napas perlahan sambil merasakan aromanya. Memang, belum ada wedang jahe seenak buatan Sekar. Bahkan buatan simbok saja tak seenak ini.
Sekar menyaring minuman itu dan menuangkannya ke dalam sebuah cangkir. Saat berbalik, betapa terkejutnya Sekar melihat Hadi yang sedang mesam-mesem sendiri di pintu dapur.
Jadi, dari tadi den Hadi di sini?
Sekar menunduk malu, dan rasa malu itu semakin menghinggapi dirinya saat Hadi kemudian melangkah mendekatinya, apalagi saat tangan kekar Hadi mengambil alih cangkir yang di bawanya. Sekar semakin tak bisa berkata apa-apa.
“Kemarilah, duduklah di sini. Aku mau bicara,” kata Hadi lembut, segera setelah ia mendudukkan dirinya di sebuah kursi yang terpasang di ujung dapur.
Sekar menurut saja, dan langsung memosisikan dirinya untuk duduk bersama Hadi. Hadi memandangnya sejenak, sembari menyeruput wedang jahe hangatnya. Perkataan Ajeng kembali terngiang.
“Kenapa tidak terus memutar tombolnya? Mungkin saja kamu akan menemukan frekuensi dengan isi yang lebih bagus jika terus memutarnya, Mas.”
Hadi mendesah. Sejujurnya, bisa-bisa saja ia memutar tombol pencarian untuk menemukan frekuensi lainnya. Namun, ia tidak mau melakukannya. Ia takut saat ia kembali lagi ke frekuensi itu, acara yang klik dengan hatinya sudah tidak lagi ada, hingga ia memilih untuk tetap di sana. Begitupula rasa yang ia punya untuk Sekar. Tetiba ada rasa lain yang menghantuinya; rasa takut untuk kehilangannya.
“Ayo kita percepat tanggal pernikahan kita. Aku tidak mau menunda-nunda lagi,” katanya, sambil meletakkan cangkirnya di atas meja.
Sekar masih menunduk sambil memainkan jarinya. Ia tak tahu harus menjawab apa.
“Kenapa diam saja? Kamu masih ragu?” tanya Hadi pada Sekar yang masih terus membisu.
“Ada apa? Jika ada ganjalan, katakan saja. Jangan pakeweuh dengan calon suamimu sendiri,” sambungnya lagi, berharap perkataannya mampu menenangkan Sekar dan membuatnya lebih terbuka.
“Saya... saya takut, Den,” kata Sekar kemudian. Hadi kembali menyeruput wedang jahenya yang masih sedikit tersisa.
“Apa yang kamu takutkan, hmm?” tanya Hadi, dengan suara khasnya yang menentramkan. “Ceritakan padaku, agar aku bisa membantumu menghilangkan rasa takut itu,” sambungnya lagi.
“Tadi pagi, waktu saya sedang berbelanja di pasar Gentan, ada kejadian yang membuat saya tidak enak hati, Den. Ada yang bilang kalau den Hadi akan menikahi saya karena...,” Sekar terdiam sejenak. Ia ragu untuk melanjutkan kalimatnya. Napasnya mendadak tersengal.
“Karena?” Hadi mendengarkan dengan seksama.
“Karena... den Hadi sudah meniduri saya,” kata Sekar sambil menutup wajahnya dengan kedua telapak tangannya. Sejurus kemudian, ia terisak. Ia ingat kejadian tadi pagi yang membuat dadanya begitu sesak.
“Kamu rewang di rumahnya Bu Sundari kan? Yang mau dinikahi Mas Hadi?” sapa seseorang, yang bersebelahan dengannya saat sedang memilah-milah sayuran di pasar Gentan pagi tadi. Sekar mengangguk sopan.
“Injih, Bude. Kula,” jawabnya, masih dengan unggah-ungguhnya yang sempurna.
“Pantas saja Mas Hadi menaruh hati padamu, Nduk. Ayu rupane, apik unggah ungguhe." Sekar menunduk malu mendengar pujian itu.
"Mosok to segampang itu Mas Hadi menikahi rewangnya sendiri? Pasti ada sebab lain yang ditutupi," celutuk seorang perempuan berusia 40an. Gelang-gelang emas di tangannya berbunyi gemerincing saat ia menggerakkan tangannya untuk mengambil sayuran.
Sekar terhenyak mendengarnya. Beberapa pasang mata menatapnya, meminta penjelasan atas maksud perkataannya.
"Ya Mas Hadi itu kan orang terpandang. Mana mau menikahi rewangnya sendiri. Mungkin dia sudah ditiduri. Makanya Mas Hadi terpaksa menikahi," katanya, tanpa rasa berdosa.
Sekar lemas mendengarnya, dadanya mendadak sesak luar biasa. Beberapa menatapnya iba. Sekar buru-buru membayar belanjaannya dan langsung berlalu dengan perasaan yang teramat pilu. Sekeji itukah penilaian beberapa orang terhadap rencana pernikahan den Hadi dengannya?
Sekar terus terisak mengingat kejadian yang ia alami tadi pagi.
Hadi menatap gadis yang teramat dicintainya itu dengan perasaan iba. Ingin sekali ia merengkuh gadis yang tengah rapuh itu dalam pelukannya. Sayang ia belum bisa melakukannya, sebab ada garis tak terlihat yang membatasi keduanya.
"Den Hadi pasti akan menemui banyak masalah jika Den Hadi menikahi saya. Saya takut jadi beban untuk Den Hadi." Sekar terus tergugu.
Hadi menggeser posisinya agar sedikit lebih dekat dengan posisi Sekar. Melihat Sekar tergugu seperti itu, ia merasa iba, namun juga terpana.
"Kamu takut menjadi beban untukku?" tanya Hadi. Sekar mengangguk.
"Beda kita terlalu mencolok. Den Hadi nanti akan banyak diperolok," jelasnya, masih dengan isakan yang jelas terdengar.
"Hatimu memang terlalu baik, Sekar. Begitu khawatirnya padaku sampai-sampai kamu abai pada dirimu. Kejadian di pasar Gentan tadi pagi, mereka memperolokmu. Tapi yang kamu pikirkan justru kebahagiaanku. Kamu takut aku tidak akan bahagia denganmu, kamu takut kamu menjadi bebanku," kata Hadi. Sekar menunduk. Isakannya sedikit berkurang.
"Sekarang coba abaikan kebahagiaanku dan jawab pertanyaanku. Apa kamu akan bahagia jika bersamaku?"
Sekar terhenyak mendengarnya, namun tak tahu harus menjawab apa. Awalnya ia memang berpikir ribuan kali untuk rencana pernikahan ini. Tapi kini, Sekar tak bisa mengelak bahwa ia memang mulai menikmati getaran-getaran hangat atas hadirnya Hadi.
"Saya... saya tidak tahu, Den. Tapi apalah arti kebahagiaan saya kalau kemudian Den Hadi akan jadi bulan-bulanan orang karena memutuskan untuk menikahi seorang rewang," katanya lagi. Sekar memang selalu merasa rendah diri.
"Sekar, dengarkan aku. Kebahagiaanku adalah jika aku bisa menghabiskan sisa hidupku bersamamu. Aku tidak peduli dengan omongan dan anggapan orang selama aku bisa bersamamu," kata Hadi. Sekar memejamkan matanya sejenak. Serasa ada aliran embun kesejukan yang mengaliri dadanya.
"Apa kamu akan bahagia bersamaku, itu pertanyaan yang seharusnya kamu pedulikan. Karena jika kamu bertanya apa aku akan bahagia bersamamu, jawabannya adalah aku akan sangat bahagia," jelas Hadi lagi.
"Sekar, mungkin kamu belum tahu apakah kamu akan bahagia denganku atau tidak. Akupun tidak bisa menjamin apakah kamu pasti akan bahagia bersamaku. Tapi, aku akan selalu berusaha untuk membuatmu bahagia. Maukah kamu memberiku kesempatan untuk itu?" tanya Hadi sambil menatap Sekar lekat-lekat.
Sekar membalas tatapan Hadi sekilas, lalu mengangguk perlahan. Hadi tersenyum melihatnya. Ia sadar, sosok yang dicintainya ini memang masih belia, belum terlalu banyak makan asam garam hingga sedikit-sedikit ia kepikiran. Maka di sinilah tugas Hadi, untuk ngemong dan ngayomi, untuk menenangkan ketika ia dilanda kegelisahan hati.
"Itu baru calon istriku. Sekarang hapus airmatamu. Jangan menangis. Hatiku akan ikut teriris jika aku melihatmu menangis," katanya, sembari menyodorkan beberapa lembar tissue untuk Sekar menghapus air matanya.
Hadi mendesah perlahan. Melihat kondisi Sekar yang masih terus merasa rendah diri, tidak mungkin ia menceritakan alasan utama yang membuatnya ingin mempercepat pernikahan ini.
"Jadi, apa kamu setuju untuk mempercepat tanggal pernikahan kita? Aku khawatir akan semakin banyak rintangan dan godaan jika kita terus menundanya." Hadi meminta pendapat Sekar.
Sekar mengangguk perlahan. "Saya manut Den Hadi saja," begitu katanya, membuat Hadi diliputi kelegaan luar biasa. Nyeri di leher belakangnya mendadak hilang seketika.
**********
Alunan gending kebo giro memenuhi seluruh suangan di Graha Sabha Pramana siang itu, sebuah gending yang diperuntukkan untuk mengiringi masuknya sepasang pengantin baru. Semakin membahana ketika gending kodhok ngorek menggantikannya, memenuhi seluruh ruangan, memberikan nuansa sakral pada siapapun yang mendengarkan. Gending kodhok ngorek adalah gending/gamelan yang memang khusus dimainkan untuk mengiringi prosesi panggih temanten, saat mempelai wanita didampingi oleh kedua orang tua dipertemukan dengan mempelai pria sudah menunggu di depan pintu masuk gedung resepsi.
Sekar melangkah perlahan. Sejujurnya dadanya bergemuruh tidak karuan. Gending-gending itu membuatnya merinding dan deg-degan. Dari kejauhan, Hadi menatap Sekar dengan decak kekaguman. Ditatapnya tanpa henti istrinya yang tengah perlahan menuju ke arahnya. Hadi terus menyunggingkan senyuman.
Sekar tampak begitu anggun dengan kebaya beludru hitam khas pengantin jawa, dengan warna keemasan menghiasi beberapa bagiannya. Di berbagai daerah, warna hitam dianggap sebagai lambang kesedihan. Namun di Jawa, warna hitam dianggap sebagai lambang kebijaksanaan dan keluhuran. Sekar terus melangkah perlahan, dan Hadi terus menatap, tanpa bisa sedetikpun mengalihkan pandangan.
Meski berhijab, Sekar tetap menggunakan sanggul rambut khas pengantin Jawa yang diisi dengan irisan daun pandan dan ditutup rajut bunga melati. Perpaduannya mampu menciptakan keharuman luar biasa, melambangkan harapan bahwa kelak sepasang pengantin ini akan membawa nama harum yang berguna bagi masyarakat. Ronce bunga melati yang berbentuk panjang seperti belalai gajah yang terpasang di sisi sanggul sebelah kanan, juga membuat Sekar terlihat semakin menawan. Rangkaian bunga melati ini melambangkan kesucian diri, juga sucinya niat untuk menjalani kehidupan ini.
Kalung susun yang terdiri dari tiga susun menambah pesona pada diri Sekar. Tiga susun kalung ini melambangkan fase utama perjalanan kehidupan manusia; lahir, menikah, dan meninggal. Sekar terus melangkahkan kakinya. Lima tangkai bunga cunduk menthul yang terpasang di bagian atas sanggulnya bergoyang-goyang karenanya.
Sekar terus melangkahkan kaki, hingga jaraknya dan Hadi hanya tinggal beberapa langkah lagi. Degub jantungnya kian tak beraturan. Hati terlihat sangat tampan dengan baju beskap hitam dan juga blankon dengan motif batik yang sama dengan kain batik yang dipakai Sekar.
Kini keduanya tak berjarak lagi. Sekar hanya mampu menunduk, mencoba meredam gelora yang menyeruak seisi relung hati. Sedang Hadi, justru terus menatap Sekar dengan bibir yang terus mengucap syukur tanpa henti. Manis, manis sekali.
Prosesi panggih temanten usai. Hadi meraih jemari Sekar, menggengamnya, lalu membimbingnya untuk menuju pelaminan.
"Sekar istriku, ayo berjalan bersamaku," kata Hadi.
Sekar tersipu, lalu melangkahkan kakinya dengan malu-malu.
**********
Opo iki sing jenenge
Wong kang lagi ke taman asmoro
Prasasat ra biso lali
Esuk awan bengi tansah mbedo ati
[Apakah ini yang dinamakan
Orang yang sedang tertambat
asmara?
Seolah tak mungkin untuk
melupakan.
Pagi siang malam,
Rasa itu terus menggoda hati]
(Bersambung)
Tunggu kelanjutannya di part 7 ya🙈 Duh, jadi pengen wedang jahe tapi bikinan den Hadi 😂
Btw, biar dapat feelnya, coba deh, baca ini sambil dengerin gending kebo giro 😍
**********
NOTES :
• Kondur : pulang
• Dereng : belum
• Sunduk : tusuk dari bambu, seperti yang digunakan untuk tusuk sate.
• Pakewuh : merasa tidak enak
• Injih Bude, kula : iya, Bu. Saya.
• Unggah-ungguh : tata krama
• Ayu rupane, apik unggah-ungguhe : cantik wajahnya, bagus tata kramanya.
• Ngemong dan ngayomi : membimbing dan mengayomi
• Lagu di akhir itu lagu Didi Kempot berjudul 'Ketaman Asmoro' ( Tertambat Asmara)


Order Novel

Comments