Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Novel Canting Part 22

Novel Canting Part 22

Hadi menoleh, menatap istrinya. Jelas, ada genangan bening di pelupuk matanya. Namun ia tahu, itu genangan bahagia, bukan lagi genangan duka.
"Sudah, jangan menangis lagi," kata Hadi, sesampainya mereka di kamar mereka.
Sekar menundukkan kepala. Genangan itu kian tentara. Hadi tersenyum geli, istrinya memang cengeng sekali. Dihapusnya genangan itu perlahan, sembari bibirnya menyulam aksara yang menenangkan.
"Saat sedih, kamu menangis. Saat bahagia, kamu juga meningis. Sedikit-sedikit menangis. Tidak takut airmatamu habis?" goda Hadi, lalu merengkuh Sekar dan menciuminya berkali-kali.
Kali ini Sekar tak memberikan pukulan cintanya, seperti yang biasa ia lakukan saat Hadi menggodanya.
"Aku... cengeng sekali ya, Mas?" tanyanya, polos, setelah genangan itu tak lagi bersemayam di sana.
Hadi tertawa.
"Di luar, kamu bisa terlihat tegar, tenang menghadapi segala ujian. Kamu bisa menyembunyikan apa yang sesungguhnya hatimu rasakan. Tapi di rumah, segala rasamu tumpah ruah," kata Hadi, membuat Sekar kembali menundukkan kepala.
"Mas Hadi... lelah ya, melihatku sering menangis saat di rumah?" tanya Sekar.
Wajah ayunya kembali sendu. Suaminya pasti menginginkan nuansa bahagia saat di dalam rumah bersamanya, tapi yang ia berikan, seringkali hanya airmata dan airmata.
"Jangan salah paham, Sayang." Hadi meraih jemari sosok di hadapannya, kembali menggenggamnya agar aliran hangatnya bisa tersalur menyentuh hatinya.
"Justru aku hargai itu. Aku tidak bisa membayangkan jika kamu lebih memilih untuk menumpahkan perasaanmu pada orang lain di luar sana daripada menumpahkannya padaku." Sekar terkesiap.
"Ketika kamu menangis dan menumpahkan gelisahmu padaku, aku jadi tahu harus bagaimana untuk membantu meringankan bebanmu, untuk membantu menyelesaikan masalahmu," imbuhnya, Sekar semakin terpana.
"Tetaplah seperti itu. Seberat apapun bebanmu, berbagilah denganku. Jangan biarkan orang lain di luar sana menggantikan peranku." Hadi menutup penjelasannya, lalu kembali mendaratkan kecupan mesra di kening sigaraning nyawanya.
Sekar kian terpana.
"Mas... betul-betul tidak apa-apa?" tanyanya. Ia ingin memastikan sekali lagi.
Hadi mengangguk pasti.
"Apa kamu merasa nyaman saat menumpahkan keluh kesahmu padaku?" tanya Hadi. Sekar mengangguk.
"Itulah yang aku mau," imbuh Hadi. Sekar mengerutkan dahi tanda tak mengerti.
"Dengarkan aku. Ketika seorang istri tak pernah lagi bercerita pada suaminya tentang apa yang ia rasa, tak lagi merasa nyaman untuk berbagi beban, maka seorang suami harus waspada, sebab mungkin saja sang istri sudah tak lagi percaya pada suaminya, hingga ia lebih memilih untuk mencari orang lain sebagai tempatnya berbagi rasa. Begitu juga sebaliknya."
Sekar mulai mengerti maksud Hadi.
"Oleh karenanya, aku justru bersyukur kamu menjadikanku sandaran untuk berbagi keluh kesahmu, untuk menumpahkan kesedihanmu. Itu berarti, kamu nyaman denganku dan kamu percaya padaku," imbuh Hadi. Kini Sekar benar-benar mengerti.
Keduanya bertatapan. Jelas, sorot cinta itu terpancar dari manik mata keduanya yang masih terus beradu pandang dalam keheningan.
"Terimakasih karena Mas selalu siap menyediakan dada dan bahu Mas untukku," ucap Sekar tulus. Hadi tersenyum.
"Terimakasih juga karena sudah mempercayaiku untuk menjadi sandaranmu," balas Hadi.
Hadi kembali merengkuh Sekar, Sekar menerima rengkuhan suaminya dengan bunga-bunga cinta di hatinya yang kian mekar.
"Ayo keluar," ajak Hadi kemudian, setelah keduanya puas menikmati detik demi detik kebersamaan saat mereka saling berpelukan.
"Ke mana?" tanya Sekar, sembari membantu Hadi menggunakan kruknya.
Tak ada jawaban. Hadi hanya mengarahkan pandangannya ke pintu kamar yang langsung mengarah ke taman. Ia beranjak ke sana, Sekar mengikutinya.
"Mas...."
Mulut Sekar menganga saking terkejutnya setelah melihat apa yang terpampang di hadapannya saat Hadi membuka pintu kamar mereka.
Sebuah meja dengan dua kursi berlapis kain putih dengan pita merah tertapa rapi di sana, lengkap dengan lima buah lilin di atas wadah kristal yang menghiasinya.
Sekar menatap suaminya.
"Mas, ini...."
"This is for you, my Lady," ucap Hadi, sembari tangan kanannya mengisyaratkan Sekar untuk segera memosisikan dirinya.
Gusti... ini romantis sekali.
Manik mata Sekar kembali menatap suaminya yang tengah bergerak perlahan menuju kursinya. Ia terus menatapnya dengan rasa keterpanaannya hingga Hadi berhasil duduk dengan sempurna.
"Kenapa melihatku begitu?" Hadi menangkap sikap istrinya.
Sekar langsung menundukkan kepala, entah mengapa hatinya kembali bergetar. Ia malu, rasanya seperti tertangkap basah tengah diam-diam mengintip seseorang dari balik pintu.
Getaran itu semakin kentara rasanya, saat sejurus kemudian Hadi meraih jemarinya, meremasnya mesra.
"Aku tahu semua ini tidak mudah bagimu. Airmatamu, keluh kesahmu, semua lebih dari cukup untuk menegaskan betapa sulitnya semua itu. Malam ini, kita lupakan sejenak semuanya. Ini malam kita. Aku ingin hanya ada aku dan kamu saja, tak ada yang lainnya," ucap Hadi.
Sekar masih menundukkan kepalanya, meski sesekali manik matanya berusaha mencuri pandang ke arah suaminya. Ia masih sibuk menata getaran di hatinya agar iramanya tak begitu menggelora.
Malam itu malam tak begitu kelam, sebab ada ribuan bintang terhampar, menemani sinar bulan yang terang terpancar. Angin pun tak mau kalah ambil peran. Ia ikut meramaikan suasana malam dengan hembusan manjanya, membelai ribuan wajah-wajah manusia, termasuk wajah Sekar dan Hadi yang tengah bercengkerama, sembari menikmati makanan yang tersedia di hadapan mereka.
Benar, kini mereka berdua saling mengeja aksara, tentang cinta, tentang biduk yang sudah berbulan-bulan lamanya mereka jalankan mengarungi bahtera. Hadi sang nahkoda, Sekar penasihatnya.
Sesekali mereka tergelak dalam tawa, sesekali mereka saling goda, hingga keduanya tak ingat badai yang baru saja mereka lalui bersama. Serbuk bahagia itu bahkan terus terasa hingga keduanya kembali ke kamar mereka.
Selesai bersujud bersama menghadap Gusti Pangeran, keduanya beringsut ke peraduan.
Hadi menatap Sekar yang tengah duduk di depan meja rias sembari menyisir rambutnya. Sesekali kepalanya bergerak bergantian ke kanan dan ke kiri, mencoba meluruskan lehernya yang terasa letih sekali. Hadi menikmatinya, dengan degub yang mengalun kencang di dadanya.
Sekar tersenyum melihat wajah Hadi yang bisa ia tangkap dari kaca, wajah dengan ekspresi terpesona dan penuh cinta.
"Kemarilah. Jangan terlalu lama menyisir rambutmu. Aku membutuhkanmu di sisiku," pinta Hadi kemudian, setelah melihat Sekar yang tak kunjung beranjak ke peraduan.
Sekar langsung memenuhi panggilan suaminya yang kini hanya memakai kaos putih dan celana pendek saja. Ia lalu memosisilan diri pada posisinya, menjadikan lengan kiri Hadi sebagai bantal seperti biasanya. Hadi merengkuhnya, menciumi keningnya, membuat Hati Sekar berdesir karenanya.
Hadi terus bergerak, hingga tak hanya kening Sekar yang diciumnya, melainkan juga bibir ranumnya, hingga Sekar tak mampu mengucap kata selama lebih dari sepuluh detik lamanya. Ia hanya mampu memejamkan mata, menikmati detik demi detik keheningan yang tercipta lantaran ia tak mampu bersuara.
Sejurus kemudian Hadi menyudahinya. Namun kini kepalanya bergerak. Sekar menahan napas saat bibir Hadi menyentuh telinganya.
"Kata dokter Adicandra, aku sudah boleh melakukannya, meski gerakanku masih belum begitu leluasa," bisiknya.
"Sepertinya malam ini aku sudah bisa berbuka," bisik Hadi lagi. Wajahnya tampak berseri-seri.
Namun sejurus kemudian, rona wajah yang berseri itu sirna, berganti menjadi wajah dengan ekspresi nelangsa, saat sang istri berbisik mesra,
"maaf, Mas. Mas masih harus berpuasa. Aku sedang datang bulan."
Hadi membenamkan kepalanya. Sekar tertawa geli karenanya.
"Aku hanya bercanda. Kan tadi kita salat bersama," bisik Sekar. Wajah Hadi kembali berseri karenanya.
Tuntas sudah dahaga yang selama ini dipendamnya, lantaran keadaannya yang belum sembuh sempurna.
.
**********
Ajeng terus terisak, dadanya sungguh terasa sesak. Perkataan Hadi tadi benar-benar menusuk sanubarinya. Ia nelangsa. Jelas sudah tak ada harapan lagi baginya untuk meraih cinta pujaan hatinya. Hadi tegas menutup pintu untuknya, sedang Sekar istrinya, turut melapisi pintu itu dengan ketidaksetujuannya.
Ajang mendesah, pasrah. Ia benar-benar gundah. Perasaannya hancur berserakan, ia tak mampu lagi untuk berpikir tenang. Hatinya semakin tertusuk duri sembilu, saat ia menyadari Sekar dan Hadi bermalam di hotel itu.
Mereka pasti tengah bercinta, memadu kasih berdua.
Ajeng kian nelangsa.
Perlahan, ia menyentuh ponselnya, lalu jemarinya bergetar mencari sebuah nomor milik seseorang yang dikenalnya. Awalnya ia ragu, namun beberapa menit kemudian, ia mantab melakukan panggilan ke nomor itu.
"Tolong jemput aku. Rasanya aku tidak sanggup menyetir pulang sendirian."
Ajeng terisak pada seseorang di sana, berharap sosok itu akan segera datang menjemputnya, membawanya jauh dari tempat yang membuat bayang-bayang Hadi tengah bercumbu mesra dengan istrinya terus bermunculan di benaknya.
Sambil menunggu sosok itu datang, Ajeng memesan segelas jus khusus pada pelayan, jus campuran anggur dan melon. Bukan tanpa alasan Ajeng memesan jus ini. Ia tahu ia sedang tidak baik-baik saja, ia sedang depresi atas apa yang baru saja dialaminya, hingga ia memesan jus ini karena sebagai dokter, ia tahu buah anggur dan melon memiliki kandungan resveratrol yang berkhasiat melancarkan aliran darah. Aliran darah yang lancar, terutama aliran darah yang menuju otak, akan membuat rasa depresi bisa sedikit ditekan.
Ajeng meminum jus itu perlahan, sembari menghapus bulir-bulir bening yang masih mengambang.
Sesekali ia melirik jam tangan kombinasi warna putih dan gold merk Michael Kors yang ia kenakan. Entah mengapa rasanya waktu berjalan begitu lama. Padahal ia ingin segera pergi dari sana. Sayang, ia tak berani mengendarai mobilnya sendirian karena kalutnya pikiran, hingga ia hanya bisa pasrah, duduk menunggu sosok yang sebentar lagi akan datang.
Tepat saat Ajeng mengjabiskan tetes terakhir jusnya, sebuah suara memanggilnya, menyentaknya dari lamunannya.
"Jeng? Is everything okay?" tanyanya.
Ajeng meletakkan gelasnya, lalu memandang sekilas sosok dengan sweater abu-abu dengan sedikit corak merah marun yang berdiri di hadapannya. Tak ada jawaban berupa kalimat penjelasan. Ajeng justru menjawab pertanyaan sosok itu dengan sebuah isakan.
"Hey, it's okay. Aku di sini," katanya, sembari memegang pundak Ajeng yang kian tenggelam dalam tangisnya.
Sejurus kemudian, ia mengeluarkan sapu tangan warna biru tua dari sakunya dan memberikannya pada Ajeng untuk menghapus airmatanya. Ajeng menerimanya. Wangi semerbak dari sapu tangan itu sedikit menenangkannya.
Sebentar. Bukankah ini... sapu tanganku?
Sembari menghapus airmatanya, angan Ajeng sejenak berkelana. Sapu tangan ini, ia ingat jika ini adalah sapu tangan yang saat itu ia berikan pada Airlangga pada pertemuan pertama mereka.
Mereka dipertemukan tanpa sengaja saat mereka terpilih untuk mempresentasikan penelitian mereka di Intenational Student Congress of (bio)Medical Science atau ISCOMS di University Medical Centre Groningen, Belanda, salah satu kongres riset terbesar bagi mahasiswa kedokteran di seluruh dunia.
Hari itu, Ajeng tergesa menuju mejanya. Ia tak sengaja menabrak seseorang yang tengah bersiap meneguk kopinya, hingga kopi itu sukses mengenai kemeja putih sosok yang ditabraknya.
Reflek, Ajeng mengeluarkan sapu tangannya, berusaha membersihkan kekacauan yang dibuatnya sembari meminta maaf.
"Eh, sudah, tidak apa-apa," ucap sosok itu. Perlahan, ia mengambil sapu tangan di tangan Ajeng. Ia sedikit risih mendapati Ajeng berusaha membersihkan noda di kemejanya hingga ia memutuskan untuk mengambil sapu tangan itu dan membersihkan noda itu dengan tangannya sendiri.
"Maaf, Mas. Aku tidak sengaja," kata Ajeng.
"Tidak apa-apa. Bisa dibersihkan. Atau kamu mau mencucikan?" guraunya.
"Iya, Mas. Nanti saya cucikan. Maaf, saya betul-betul tidak sengaja." Ajeng tampak menyesali perbuatannya.
"Airlangga. Panggil saja Angga. Dari FK UI. Kamu?" tanyanya, sembari mengulurkan tangannya untuk bersalaman.
"Ajeng, dari FK UGM," jawab Ajeng sembari membalas uluran tangan Airlangga.
"Mas Angga, benar tidak apa-apa? Sebentar lagi presentasi dimulai. Bagaimana mungkin Mas Angga presentasi dengan kemeja kotor seperti ini?" Ajeng khawatir. Ia sungguh merasa tak enak hati.
Angga tertawa.
"Tenang saja. Asal isi presentasiku bagus, orang tidak akan memperhatikan noda di bajuku. Mereka akan fokus mendengar pemaparanku. Lagipula, jasku bisa menutupi noda ini," katanya, sambil meraih jas yang terlampir di kursinya.
"Shall we go together?" ajak Angga pada Ajeng untuk pergi ke ruang presentasi bersama. Ajeng menganggukkan kepala, lalu berjalan di sebelah Angga.
"Sapu tangan ini, boleh untukku?" tanya Angga, saat tinggal selangkah lagi mereka memasuki ruang presentasi.
Ajeng mengangkat alisnya, seolah meminta penjelasan atas apa yang baru saja di dengarnya.
"Sebagai kenang-kenangan kalau ada gadis cantik yang pernah menabrakku dan menodai kemejaku tepat sebelum presentasiku," ucap Angga. Ajeng sedikit tertawa, lalu menganggukkan kepalanya.
Ajeng berhenti melamunkan awal pertemuannya dengan Angga. Tapi sungguh, ia tak menyangka Angga masih menyimpan sapu tangan yang diberikannya. Ia yakin itu sapu tangannya. Ada ukiran nama 'Ajeng' di ujungnya, meski ukiran itu kini sudah tidak begitu sempurna bentuknya.
"Ayo kita ke bawah," ajak Angga, saat melihat Ajeng telah selesai menghapus kristal beningnya.
"Mobilku... bisa ditinggal di sini saja, Mas. Besok aku akan kembali untuk mengambilnya. Aku pulang menumpang mobil Mas Angga saja, ya," kata Ajeng, beberapa saat setelah keduanya melangkahkan kaki mereka.
"Aku sengaja tidak membawa mobilku. Setelah menerima teleponmu tadi, aku ke sini naik taksi, biar mobilmu bisa langsung aku bawa dari sini," jawab Angga dengan sedikit sunggingan di wajahnya.
Beberapa saat kemudian, keduanya sudah berada di tengah padatnya jalanan Yogyakarta. Angga melirik sosok di sebelahnya yang sedari tadi hanya diam seribu bahasa.
Sembari menikmati macetnya jalanan, angan Angga juga sejenak menyeruak menyibak kenangan. Ia juga ingat pertemuan pertamanya dengan Ajeng yang berlanjut pada pertemuan-pertemuan selanjutnya lantaran keduanya aktif, sering mengikuti konferensi internasional bersama. Terakhir, keduanya bertemu di International Conference on Emerging Infectious Disease yang dilaksanakan di kota Zurich, Swiss.
Angannya tiba-tiba melesat, menyibak lembar kenangan yang ia simpan saat ia dan Ajeng menghabiskan senja bersama di Prinsenhof Garden, sebuah taman cantik di salah satu sudut kota Groningen dengan kebun mawar, juga tumbuhan serba hijau yang mengelilinginya.
"Jeng, lihat tower itu," kata Angga, saat keduanya duduk di sebuah kursi panjang yang berada di taman itu. Jemarinya menunjuk sebuah bangunan setinggi 97 meter yang tampak dari pintu masuk taman Prinsenhof.
"Martini tower?" kata Ajeng. Angga mengangguk.
"Kamu tahu sejarahnya?" tanya Angga. Ajeng menjawabnya dengan gelengan kepala.
"Konon, tower ini pertamakali di bangun pada abad ke-13. Tidak setinggi ini, hanya sekitar 30 meter. Sayang, bangunan tersebut rusak karena tersambar petir."
"Benarkah? Aku baru tahu. Mungkin karena waktu itu belum ditemukan penangkal petir?" komentar Ajeng. Angga mengangkat bahunya.
"Bisa jadi. Tapi aku sendiri kurang tahu kapan tepatnya penangkal petir ditemukan. Nah, pada abad ke-15, tower itu dibangun kembali, setinggi kurang lebih 45 meter. Sayang, lagi-lagi tower itu harus hancur dengan cara yang sama."
"Huh? Karena petir lagi?" tanya Ajeng. Angga mengangguk. Lalu keduanya tertawa bersama.
"Iya. Kabarnya begitu. Selanjutnya, tower ini kembali dibangun lagi. Kali ini setinggi lebih dari 100 meter. Sayang, karena suatu hal, tower ini hancur sebagian. Hanya sekitar 60-an meter saja tinggi bangunan yang tersisa. Lalu pada abad ke-17, bangunan ini diperbaiki kembali hingga setinggi sekarang." Ajeng terus mendengarkan penjelasan Angga sembari merapatkan coat-nya. Meski musim semi, hembusan angin Groningen terasa dingin sekali.
"Setelah itu tidak pernah rusak lagi?" tanya Ajeng kemudian.
"Tidak juga. Bangunan ini pernah kembali mengalami kerusakan beberapa kali, akibat alam, seperti sambaran petir tadi, juga akibat perang. Bahkan katanya ada peluru di salah satu lonceng di tower itu, akibar pertempuran hebat yang terjadi di daerah ini saat pasukan Kanada membebaskan Groningen pada akhir perang dunia II," Angga menutup penjelasannya. Ajeng mengangguk-anggukkan kepala mendengarnya.
Hari itu, kuntum-kuntum mawar taman Prinsenhof yang bergoyang menari-nari, menjadi saksi secuil rasa di hati Angga yang mulai bersemi. Ya, sepertinya ia jatuh cinta pada gadis yang menodai kemejanya sebelum ia presentasi. Bahkan, rasa cinta itu masih tumbuh subur hingga kini.
Angga menginjak tuas gas mobil yang dikendarainya, sambil kembali melirik Ajeng yang kini menundukkan kepala. Ia tahu Ajeng tidak baik-baik saja.
"If you need somebody to talk, I am here," tawarnya. Ajeng kembali menjawabnya dengan linangan airmata yang kembali membasahi pipinya.
"Oke, kamu sangat tidak baik-baik saja. Aku mau kamu bercerita. Percayalah. Meski mungkin aku tidak akan bisa membantu apa-apa, tapi kamu akan merasa lebih tenang saat kamu mau berbagi pada seseorang."
Ajeng menggerakkan manik matanya yang masih basah untuk menatap Angga.
Kenapa kamu begitu baik padaku, bahkan setelah semua penolakanku, Mas?
"Aku peduli padamu. Jadi jangan siksa dirimu dengan menyimpan sendiri bebanmu," kata Angga lagi, seolah menangkap sekelebat tanya yang muncul di benak Ajeng.
Ia lalu mengarahkan mobil yang ditumpanginya menuju ke daerah Kotabaru. Ada Legend Coffee, kafe 24 jam di sana. Ia ingin mengajak Ajeng kesana agar Ajeng bisa lebih leluasa berbagi beban padanya.
"Katakan, ada apa?" Angga membuka pembicaraan segera setelah mereka duduk dan memesan minuman mereka di kafe 24 jam tersebut.
Ajeng berkali-kali menghela napas sebelum akhirnya bibirnya bergerak mengeluarkan suara.
"Aku... tadi aku bertemu Mas Hadi dan istrinya...."
Lalu mengalirlah segala gundah di hatinya, tumpahlah segala lara yang ia rasa. Pelupuk matanya kembali basah tergenang airmata.
Angga mendengarkan dengan seksama, meski sejujurnya ada sedikit goresan di hatinya, namun ia berusaha tenang. Sosok yang tengah menangis di hadapannya ini, Angga pernah beberapa kali mengutarakan cinta, namun Ajeng selalu menolak dengan alasan ia sudah mencintai yang lainnya.
Ajeng bahkam terang-terangan memberitahu Angga tentang siapa sosok yang telah mencuri hatinya. Sebetulnya, bukan tanpa alasan Ajeng berbuat demikian. Ia sengaja, agar Angga tak menaruh harapan lebih padanya. Sungguh, Ajeng tak ingin Angga mengalami rasa sakit yang sama seperti yang dialaminya. Sebab tak adil rasanya Angga mengharap cintanya, sedang cinta itu telah ia simpan untuk Hadi sepenuhnya.
Pernah Angga menaruh sebuah harap, saat ternyata ayahnya dan ayah Ajeng saling kenal, bahkan bersahabat. Harapan itu semakin ada saat ayahnya dan ayah Ajeng berencana menjodohkan mereka berdua, berharap hubungan persahabatan meningkat menjadi hubungan besan. Sayang, jawaban Ajeng tetap sama. Hatinya masih tertambat pada sosok idamannya.
"Minumlah."
Angga menyodorkan segelas minuman. Ajeng menerimanya dan meneguknya perlahan. Ia beruntung, Angga sedang berada di Yogyakarta karena ia sedang ada proyek penelitian dengan beberapa kolega di Fakultas Kedokteran Universitas Islam Indonesia dan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, sehingga ia tanpa ragu meminta tolong Angga untuk menjemputnya dari hotel Sheraton tadi. Entah mengapa, sosok Angga-lah yang tiba-tiba muncul di benaknya.
"Jeng, boleh aku bicara?" Angga kembali membuka percakapan setelah ia melihat Ajeng lebih tenang. Ajeng mengangguk perlahan.
"Kondisimu sekarang, persis seperti orang yang terkena sengatan lebah," ucapnya. Ajeng mengerutkan dahinya, tak mengerti maksud Angga.
"Kamu tahu, kan, sengatan lebah selalu meninggalkan sengatnya di kulit yang baru saja di sengatnya? Pertolongan pertama untuk mengobatinya adalah dengan mengeluarkan sengat itu dari kulitmu. Kamu sedang tersengat cinta Hadi, cinta yang justru membuatmu terluka. Sayang, kamu tidak mau mengeluarkan sengat cinta itu dari hatimu hingga hatimu terus sakit seperti ini. Bahkan semakin parah." Ajeng kembali menundukkan kepala mendengar perkataan Angga.
"Seharusnya kamu keluarkan sengat cinta itu dari hatimu."
Kali ini Ajeng terhenyak mendengarnya. Sungguh, ia juga ingin melakukannya, hanya saja Ia terus gagal tak peduli betapa sering ia mencoba.
"Apa setelah mengeluarkan sengatnya, luka sengatan itu akan sembuh dengan segera? Tidak. Kamu akan mengalami rasa sakit luar biasa, juga akan ada bilur merah di area sengatannya. Begitu juga dengan kondisimu. Mencoba mencabut rasa cintamu pada Hadi, tidak akan lantas membuatmu langsung sembuh. Kamu akan terluka, kamu akan sakit hati. Tapi itu akan menjadi awal kesembuhanmu nanti." Angga masih terus bicara.
"Aku pernah mencoba menjadi hidrokortison untukmu, untuk meredakan rasa pedih, juga mengurangi bengkak di hatimu akibat sengat cinta itu. Sayang kamu menolaknya, hingga lukamu semakin parah saja."
Angga menatap Ajeng dengan tatapan iba. Sungguh, ia tak tega melihat perempuan yang dicintainya nelangsa, hingga bertekad untuk menyadarkannya agar ia bisa bangkit segera dari keterpurukannya.
"Sengat itu... sudah terlalu menancap dalam, Mas. Sulit bagiku untuk mencabutnya. Begitu pula dengan luka hatiku yang sudah sedemikian parahnya." Ajeng kembali terisak.
Perlahan, Angga menggerakkan jemari tangan kanannya, menempatkannya di atas jemari Ajeng yang berada di atas meja.
"Benar. Lukamu akibat sengatan itu sudah sangat parah. Kamu bahkan sedang mengalami kondisi anifilaksis akibat sengatan itu," imbuh Angga.
Ajeng sedikit mendongakkan kepala, hingga manik matanya bertemu dengan manik mata Angga. Entah mengapa tiba-tiba ada dingin yang menyelimuti hatinya.
"Kamu ingat sejarah Martini tower yang pernah kita bicarakan di taman Prinsehof kala itu?" tanya.
Ajeng menganggukkan kepalanya. Entah mengapa, ia tidak pernah lupa segala kisah yang pernah dilaluinya dengan Angga. Entah karena ada sedikit rasa yang tak disadarinya, atau karena otaknya terlalu pintar untuk lupa pada semua lembar kenangan yang terekam. Tapi satu hal ia sadar. Angga memang baik, terlalu baik padanya.
"Cintaku padamu, seperti tower itu. Berkali-kali ia hancur, berkali-kali pula ia bangun. Bahkan kini berdiri tegak menjulang tinggi." Ajeng terhenyak
Sejenak keheningan tercipta, keduanya tak tahu harus bicara apa.
"Dokter Rahajeng Sukmawati. Ijinkan aku menjadi epinephrine untuk anafilaksismu, ijinkan aku membantumu menyembuhkan lara hatimu. Aku tahu selama ini kamu sudah berusaha, namun tak ada hasilnya. Mungkin memang kamu membutuhkan kehadiranku untuk membantumu bangkit segera," ucap Angga tanpa mengalihkan tatapannya pada sosok di hadapannya.
Ajeng terkesiap. Hatinya mendadak menggelora. Namun sejurus kemudian benaknya dipenuhi tanya, pada siapakah akhirnya ia akan melabuhkan cinta; pada Hadi yang teramat dicintainya namun justru membuat hatinya lara, atau pada Airlangga yang sama sekali ia belum ada rasa, namun siap berada di sisinya, menggandengannya untuk bangkit dari keterpurukannya.


Order Novel

Comments