Baca Novel Baru Baca Novel RANIA

Novel Canting Part 23

Novel Canting Part 23

Kota Bath, Somerset, Inggris.
Angin berhembus gemulai, menciptakan atmosfer menenangkan kala berpadu dengan suara gemericik air sungai. Beberapa tampak berlalu lalang, kebanyakan memakai coat warna coklat atau hitam. Ah, jangan salah. Negeri empat musim ini memang aneh. Musimnya labil. Tidak peduli musim panas, musim gugur, atau musim semi, rasanya tetap dingin sekali. Lalu, bagaimana kabar sang mentari? Tak pernahkah ia muncul memberikan kehangatan pada negeri empat musim ini? Tentu saja sesekali ia datang menyapa. Namun, seringkali hanya terangnya sinar saja yang dibawanya, tanpa kehangatan menyertainya, hingga meskipun ia ada, tetaplah dingin yang terasa.
Maka jangan heran tatkala mentari menghampiri dengan hangat yang menyertai, penduduk negeri empat musim ini akan berlomba, memenuhi taman-taman, berbaring dan berjemur mencari kehangatan. Sayang, sudah lebih dari seminggu mentari tak datang. Mungkin ia masih bermalas-malasan di peraduan.
Hadi menggandeng tangan Sekar, berjalan di atas Pulteney bridge, sebuah jembatan indah sepanjang 45 meter yang melintasi sungai Avon di kota Bath, Inggris.
"Aku kangen kamu," kata Hadi, sembari mengeratkan genggamannya pada jemari istrinya yang terbalut kaos tangan warna hitam berpita.
Mereka lalu berhenti di sebuat titik di atas jembatan itu, hingga keduanya bisa leluasa menikmati indahnya suasana di kota yang disebut sebagai kota paling romantis di Inggris ini.
Kota Bath, memang menawan, sebuah kota dengan gaya arsitektur klasik ala georgian architecture yang kaya akan warisan dan budaya layaknya Yogyakarta.
Ada Bath Abbey, sebuah bangunan gereja super megah megah dengan interior bergaya gothic, ada The Royal Crescent, deretan rumah indah yang berjejer membentuk setengah lingkaran dengan hamparan hijau maha luas di depannya, taman-taman cantik dengan nuansa klasik seperti Prior Park, juga the Roman Baths, sebuah bangunan dengan kolam di bagian tengahnya, mirip seperti Tamansari di Yogyakarta.
Hadi beringsut. Kini ia berdiri di belakang istrinya, lalu melingkarkan tangan di pinggangnya, dan menemparkan dagu di pundaknya. Sekar tersenyum. Ia tahu Hadi sangat merindukannya, sama dengan yang ia rasa.
"Aku juga merindukanmu, Mas," balas Sekar. Hadi masih menempatkan dagunya di pundak Sekar hingga pipi keduanya bersentuhan.
Sudah lebih dari 3 bulan lamanya raga mereka terpisah jarak antar benua, Eropa - Asia, lantaran Sekar tengah menempuh pendidikan kursus intensif di British Academy of Fashion Design di Mayfair, London. Sedang Hadi harus tetap berada di Indonesia untuk menjalankan bisnisnya yang kian hari kian berkembang saja, termasuk menjalankan bisnis baru, bisnis oleh-oleh kekinian khas Yogyakarta berupa kaus dan juga pernak-pernik souvenir dengan tulisan pepatah Jawa. Sekar yang mengagasnya. Ia ingin mengangkat kearifan budaya Jawa dalam bisnisnya, sekaligus berharap pepatah-pepatah khas Jawa ini mampu menjadi penyemangat bagi siapa pun yang membacanya.
Hadi mengeratkan rengkuhannya, berharap aliran kerinduannya mampu menghangatkan sosok yang teramat dicintainya. Hadi sungguh bangga. Sekar betul-betul serius, tak kenal lelah menjalankan rencananya hingga kini, brand Sekarhadi mampu berdiri tegak, bahkan mampi mengungguli yang lainnya. Sekar menemukan renjananya. Meski awalnya hanya meraba, kini ia yakin bahwa dunia fashion adalah tempat yang tepat untuk renjananya bermuara, hingga ia memutuskan untuk memperdalam ilmunya di negeri empat musim ini.
Mudah kah langkahnya? Tentu saja tidak. Hadi saksinya, bagaimana kerasnya Sekar berusaha. Sebagai orang yang sudah lebih dulu mengenyam pendidikan di Britania Raya, Hadi pun sigap membantunya mempersiapkan segala sesuatunya, terutama soal bahasa. Hadi berperan sebagai tutor IELTS (International English Language Testing System) pribadi bagi Sekar karena memang ia membutuhkan tes ini untuk bisa menembus pendidikan di Britania Raya.
Terkadang, Sekar frustasi di tengah prosesnya, begitu pun Hadi kala lelah mendera, hingga tak jarang, hal itu menyulut sedikit percikan api di antara keduanya.
"Duh, Gusti... aku sudah mengajari bagian ini, kan? Kenapa masih salah? Di writing part 1, kamu tidak boleh menulis opini. Cukup jelaskan saja trend-nya. Kamu lupa?" kata Hadi malam itu, saat mengoreksi hasil latihan Sekar di ruang baca mereka.
Senyum Sekar langsung hilang mendengarnya. Napasnya mendadak tersengal, ia kesal.
"Maaf kalau aku tidak kunjung bisa. Aku hanya lulusan SMA," ujarnya, lalu berlalu, setengah berlari menuju ke kemarnya dengan kristal bening yang mendadak menggenang di pelupuk matanya.
Hadi mendesah. Matanya nanar menatap tumpukan buku Cambridge IELTS dan Longman IELTS yang ditinggalkan begitu saja oleh istrinya. Ia menyesali perbuatannya. Seharusnya ia bisa lebih sabar mengajari Sekar, karena meski Sekar sering menjuarai lomba debat bahasa Inggris selama SMA, namun tetap saja, IELTS ini sangat berbeda dengan tes bahasa Inggris lainnya. Tingkat kesulitannya luar biasa, yang bahkan Hadi saja dulu harus belajar sekuat tenaga untuk bisa menaklukannya.
Hanya saja, beberapa hari ini tenaga dan pikirannya terkuras untuk mengurusi beberapa hal di bisnisnya, membuat stok kesabarannya sedikit berkurang dari biasanya.
Hadi menghela napas, lalu beranjak menyusul Sekar ke kamar. Tebakannya benar, Sekar tengah tenggelam dalam tangis kesedihan, membuatnya semakin menyesal.
Hadi sejenak memejamkan mata, sebelum merengkuh sosok yang tengah tergugu di atas peraduannya.
"Maafkan aku. Seharusnya aku bisa lebih sabar mengajarimu," ucap Hadi. Sekar masih terkekang sunyi. Namun sejurus kemudian, bibirnya mengeja bunyi.
"Aku ingin berhenti saja," isaknya. Hadi semakin mengeratkan pelukannya.
"Sayang, aku tahu ini tidak akan mudah, aku tahu kamu mulai lelah. Tapi bukankah ini impianmu? Kuatkan hatimu. Kamu tidak ingin semua yang sudah kamu tata berakhir sia-sia, kan?" Hadi mencoba menghibur istrinya.
"Mas Hadi pasti bosan mengajariku yang tidak kunjung mampu." Ia terus terisak. Hadi kembali mendesah.
"Tidak, Sayang. Sama sekali tidak. Maaf jika tadi aku sedikit keras padamu. Itu karena aku sedang lelah saja, bukan karena aku bosan mengajari istriku tercinta." Hadi melepaskan pelukannya, lalu jemarinya menari, menghapus airmata Sekar yang masih membasahi pipi.
Semilir angin kembali menyapa, menyentak Hadi yang tengah berkelana ke masa lalunya, membayangkan perjuangan istri tercinta sebelum ia berhasil menginjakkan kaki di tanah Britania Raya.
Perlahan, dibalikkannya badan Sekar hingga kini keduanya berhadapan.
"Aku bangga padamu, Sekar. Sangat bangga," ucap Hadi sambil menatap mata Sekar yang berkilat. Gadis jahenya sudah betul-betul merekah, indah.
"Semua ini tidak akan terjadi tanpa kersaning Gusti, dan tanpa bantuan Mas Hadi."
Sekar membalas tatapan suaminya dengan senyum manisnya, membuat Hadi tak tahan untuk mengecupnya. Beberapa pasang mata mengulum senyum melihat keduanya.
"Bapak juga pasti bangga padamu," ucap Hadi kemudian.
Sekar mendesah. Sosok itu... tiba-tiba Sekar merindukannya, sosok yang tak akan pernah lagi bisa ia jumpai di dunia. Benar, ayahnya telah tiada.
Bulir bening mulai menggenang, Hadi langsung mengerti bahwa istrinya mendadak merasa tak tenang. Ia kembali merengkuhnya dalam pelukan hangatnya.
"Aku kangen Bapak, Mas." Sekar membenamkan kepalanya. Hadi membelainya mesra.
"Aku tahu. Jika kamu merindukannya, kirimkan rindumu dengan doa," ucapnya. Sekar masih tergugu di dadanya.
Bapak pergi setahun lalu, lantaran kondisinya yang terus menurun pasca terpeleset saat menggarap ladangnya. Sekar berada di sana, menyaksikan sendiri detik demi detik kepergiannya.
Bapak menyadari kekeliruannya saat ia menyaksikan sendiri betapa tulus Sekar merawatnya yang sudah tak lagi mampu berjalan seperti sedia kala. Sekar rela meninggalkan semua pekerjaannya demi merawatnya, mulai menyuapinya, memandikannya, bahkan sampai membersihkan kotorannya. Maka benarlah pepatah yang berbunyi suradira jayaningrat, lebur dening pangastuti, bahwa segala angkara murka akan luluh dengan kelembutan hati.
"Maafkan Bapak, Nduk," kata Bapak malam itu, membuat airmata Sekar langsung tumpah mendengarnya.
Tangisnya kian kentara saat perlahan, lengan lemah bapak merengkuhnya. Sekar kian tergugu. Sungguh, seumur hidupnya, ia sangat merindukan rengkuhan itu. Sekar menikmatinya, dalam tangis bahagia. Akhirnya ia bisa merasakan juga bagaimana direngkuh ayah kandungnya, meski rengkuhan itu merupakan rengkuhan pertama, sekaligus terakhir yang dihadiahkan bapak untuknya.
"Sudah, jangan menangis lagi. Bapak pasti bahagia melihatmu seperti ini. Ayo, kita jalan lagi."
Hadi kembali menghapus airmata sigaraning nyawanya, lalu membimbingnya untuk kembali berjalan bersama, agar sang istri tercinta tak bersedih karena terbawa suasana kerinduan pada ayahnya.
Tiga ekor seagull terbang melintasi mereka.
"Oh iya, Mas, besok Mas mau ke mana?" tanya Sekar yang mulai bisa menguasai suasana hatinya.
"Kenapa memangnya?" tanya Hadi.
"Aku ada workshop seharian penuh di University of the Arts, London. One day masterclass dengan designer Julian Roberts," jelas Sekar.
"Ah, tidak usah ikut. Lebih baik tinggal di rumah saja menemani suamimu tercinta. Jauh-jauh aku menyusulmu dari Yogyakarta, tapi sampai di sini kamu menganggurkanku?" goda Hadi. Sekar mengerucutkan bibirnya.
"Apa kamu tega membiarkanku kedinginan sendirian?" Hadi mengerling manja, membuat Sekar menghadiahinya dengan pukulan mesra.
"Lagipula, siapa si Julian Roberts itu? Apa dia lebih tampan dari suamimu yang sudah lebih dari tiga bulan ini nelangsa karena lagi-lagi harus puasa sehingga kamu lebih memilih untuk menemuinya? Hmm?" Hadi terus menggoda Sekar.
"Mas ini. Centil sekali," komentar Sekar. Ia lalu mendaratkan sebuah cubitan.
Hadi memang baru sampai London kemarin pagi. Namun hari ini, ia langsung mengajak Sekar untuk mengunjungi kota Bath.
"Siapa memang Julian Roberts itu?" tanya Hadi.
"Desainer Inggris, Mas. Dia bahkan sudah lima kali menyabet penghargaan British Fashion Council's New Generation Award. Selain aktif sebagai desainer, Julian juga menjadi dosen di Royal College of Art, London," jelas Sekar, berapi-api. Hadi jelas bisa melihat istrinya tampak bersemangat sekali.
"Workshopnya tentang apa?" tanya Hadi lagi. Mereka lalu berjalan kembali setelah beberapa saat langkah mereka terhenti.
"Substraction cutting, atau lebih dikenal dengan teknik pemotongan Zero Waste. Teknik ini diciptakan sendiri oleh Julian. Nah, dengan teknik ini, aku bisa memaksimalkan kain yang kita potong sehingga tidak ada yang terbuang sia-sia. Selain itu, teknik ini juga akan menghasilkan hasil pemotongan yang unik dan tidak biasa. Tentu ini akan bagus untuk bisnis kita," jelas Sekar lagi. Hadi mangut-mangut meski sejujurnya ia tak begitu mengerti.
"Julian sudah berkeliling ke 17 negara di seluruh dunia untuk memberikan workshop tentang teknik ini. Lagipula, aku sudah membayar mahal. Aku rela menabung demi bisa ikut workshop dengan peserta terbatas ini. Masa' Mas tega melarangku ikut?" Sekar tampak sedih.
"Berapa memang biayanya?"
"Hampir 300 pounds," jawab Sekar.
Sejurus kemudian, Hadi mengeluarkan dompetnya, mengambil debit card bank Barclays miliknya dan menyodorkannya pada Sekar.
"Ambil 300 pounds dari kartu ini, tapi kamu di rumah saja menemaniku. Aku tidak mau sendiri," kata Hadi.
Sekar memicingkan mata, berharap Hadi bercanda. Tapi tidak, Hadi tampak serius dengan ucapannya.
"Mas? Seriously?"
Hadi hanya menjawabnya dengan mengangkat alisnya.
Sekar langsung menghentikan langkah dan menundukkan kepalanya. Matanya memerah, genangan beningnya hampir tumpah. Sejurus kemudian, Hadi memegang kedua pipi sekar dan mencubitnya perlahan.
"Ternyata kamu masih sama. Masih mudah untuk digoda. Jangan menangis. Aku hanya bercanda," katanya.
"Ih, Mas Hadi jelek!"
Sekar menghapus beberapa bulir yang sudah terlanjur tumpah, lalu berlari mengejar Hadi yang sudah lebih dahulu berlalu sambil menertawakan keluguannya. Tapi pada satu titik, tepat di depan Bath Abbey, sebuah bangunan gereja megah yang nerupakan salah satu icon kota Bath, Hadi menghentikan langkahnya. Ia berbalik dan merentangkan tangannya, menunggu Sekar untuk hinggap di sana.
"Aku hanya bercanda, Sayang. Mana mungkin aku melarangmu jika matamu penuh binar bahagia seperti itu," kata Hadi sembari mengecup kepala Sekar, begitu Sekar menghambur ke pelukannya.
"Kamu tahu, rasanya tidak percaya jika seseorang yang saban hari menangis karena belajar materi-materi tes IELTS adalah orang yang sama dengan yang baru saja bersemangat bercerita tentang desainer Julian Roberts."
Hadi kembali memberikan kecupan mesra. Sekar menatapnya sekilas, lalu memberikan Hadi sebuah cubitan kecil.
Ia pun sama, tak menyangka bisa sejauh ini langkahnya. Benarlah wejangan andalan Simbok yang selalu dipetuahkan padanya.
"Eling, Nduk. Wani ngalah dhuwur wekasane. Berani mengalah itu akan mendatangkan kemuliaan. Lagipula, apa yang kita anggap baik, belum tentu baik di mata Gusti Pangeran. Yang harus kita lakukan adalah nrimo lan ngelakoni, menerima dan menjalani."
Sekar tersenyum penuh arti. Ia memejamkan mata dalam pelukan Hadi yang membuat dinginnya hawa tak begitu terasa, sembari menyibak lembar demi lembar perjalanannya. Sungguh, jalan ini, dahulu ia sama sekali tak menginginkannya. Bahkan ia berontak, tak ingin menerimanya. Namun siapa sangka, ternyata semua ini adalah jalan yang dibutuhkannya, jalan yang terbaik baginya.
Sekar masih memejamkan matanya dan menikmati setiap syukur yang menggelora di dadanya, saat sejurus kemudian Hadi melepaskan pelukannya.
Sekar terkesiap. Tiba-tiba Hadi berlutut di hadapannya, persis seperti yang dilakukannya di tepi danau Westlake Resto saat akan melamarnya. Kini Hadi melakukan hal yang sama, membuat geletar-geletar cinta di hati Sekar semakin kencang iramanya. Puluhan pasang mata memperhatikan mereka, puluhan pasang kaki berhenti demi menyaksikan kejadian manis ini.
Sekar salah tingkah, namun ia hanya bisa pasrah.
"Selamat ulang tahun yang ke-22, Sayang."
Hadi tersenyum, lalu mengeluarkan setangkai mawar merah yang rupanya memang sedari tadi ia sembunyikan di balik coat panjangnya.
Sekar menutup mulutnya, sebab jutaan keharuan muncul menyeruak dari sana. Mungkin karena Sekar menutupnya, hingga akhirnya keharuan itu keluar melalui manik matanya, menjelma menjadi kristal bening tanda bahagia.
Sekar menerima mawar itu dengan lelehan airmata. Melihatnya, Hadi bangkit dan kembali merengkuhnya.
"Jangan bilang kamu tidak ingat ulang tahunmu lagi," kata Hadi.
Ia tersenyum geli. Sekar memang tak pernah ingat hari ulang tahunnya sendiri.
"Aku tahu kamu suka bunga melati. Tapi maaf, hanya mawar ini yang kutemukan di sini. Kuharap kamu menyukainya. Mungkin kamu akan menyebutku gombal, tapi percayalah, ada cintaku di tiap kelopaknya. Aku...."
Hadi tak mampu lagi melanjutkan kalimatnya, sebab Sekar menghentikannya dengan bibir ranumnya. Hadi melingkarkan kedua tangannya di pinggang Sekar, lalu keduanya tenggelam, hanyut dalam hangat dan romantisnya suasana.
Beberapa daun maple berguguran. Beberapa terbang tertiup angin, lalu jatuh tepat mengenai mereka berdua, yang diselimuti daun-daun cinta.
**********
Gerimis gemericik membasahi tanah Yogyakarta, memunculkan aroma khas tanah yang tersiram hujan. Sekar menyukai aroma ini, apalagi ini gerimis pertama yang ia temui sejak kepulangannya dari tanah Britania Raya dua bulan silam.
Sekar menghela napas, sembari manik matanya menatap nanar tetes-tetes bening air langit dari balik jendela taksi yang membawanya. Ia lalu memejamkan mata, ia bingung dengan apa yang ia rasa. Seharusnya ia bahagia atas apa yang baru saja didengarnya. Tapi entah mengapa ia justru merasa hampa.
Salahkah? Entahlah.
Sekar segera melangkah ke kamarnya begitu ia sampai di rumahnya. Tak ada orang. Kanjeng Ibu belum pulang, begitu pun dengan Hadi-nya tersayang. Ia melengang, lalu mematung di peraduan.
Perlahan, bulir-bulir di matanya mulai menggenang. Ia sungguh kebingungan.
"Sekar? Sayang? Ada apa?"
Hadi tiba-tiba datang, menyentak Sekar yang hanyut dalam tangisan. Ia beringsut, ingin menyembunyikan tangisannya. Terlambat, Hadi sudah terlebih dulu mengetahuinya.
"Ada apa?" Hadi langsung merengkuh istrinya, seperti yang selama ini dilakukannya acapkali sang istri bergelimang airmata.
Tak ada jawaban. Sekar semakin tergugu dalam tangisan.
"Aku... aku tadi ke dokter, Mas." Sekar mulai bicara di sela isak tangisnya.
"Iya, lalu?" Hadi menunggu jawaban selanjutnya.
"Kata dokter...."
"Iya, apa kata dokter?" Hadi sabar menantikannya. Sayang, Sekar kembali terkungkum dalam tangis.
"Ono opo to, Sayang? Ojo ngawe Masmu iki penasaran," ucap Hadi lembut, sembari membelai kepala istrinya.
"Aku hamil," ucap Sekar lirih.
"Huh?" Hadi memicingkan mata, takut salah dengar atas apa yang baru saja diucapkan istrinya.
"Apa?" tanyanya.
"Aku... kata dokter... aku hamil, Mas," jawab Sekar terbata, sebab ia masih berurai airmata.
Hadi tak bisa berkata apa-apa. Tiba-tiba saja ia merasa terbang ke angkasa.
"Kamu... hamil?" pekiknya, bahagia.
Sekar mengangguk, lalu menunduk.
Hadi mengeratkan pelukannya. Ia sungguh tak percaya pada apa yang baru saja didengarnya.
Gusti... benarkah ini? Sekar hamil? Aku akan jadi seorang ayah?
Hadi masih merasa melayang. Ia baru tahu jika perasaan seorang lelaki yang mengetahui ada kehidupan di rahim sang istri ternyata bisa begitu indah. Terlalu indah hingga tanpa terasa, airmatanya ikut tumpah. Sungguh, Hadi lupa kapan terakhir kali ia menumpahkan airmata, namun kali ini, ia betul-betul terbuai tangis bahagia.
Keduanya tergugu, dalam keharuan yang mengharu biru.
Bahkan hingga malam menjelma, Hadi masih merasakan api bahagia itu berkobar di hatinya. Perlahan, ia memejamkan mata, sembari jemarinya mengelus-elus perut istri tercinta. Sayang ia tak merasakan apa yang dirasakan istrinya, sebab sang istri, meski di satu sisi ia merasa bahagia, namun ada sisi lain di hatinya yang terasa hampa. Entah apa sebabnya.
Sekar terpejam dengan airmata yang kembali membanjiri wajah sendunya. Lagi-lagi ia bingung atas rasa di hatinya.
Gusti... tolong tenangkan hatiku.
**********
"Jangan lupa kabari aku, ya. Apakah yang ada di perutmu ini Hadi kecil, atau Sekar kecil."
Hadi merengkuh Sekar yang tengah membuatkan wedang jahe untuknya, sembari jemarinya mengelus perut Sekar yang sudah tampak membesar. Sudah 5 bulan usia janin yang dikandungnya.
"Iya, Mas," jawab Sekar perlahan.
Hadi melepaskan rengkuhannya. Ia meraaa ada yang tak beres dengan istrinya. Entah apa sebabnya, tapi semenjak Sekar mengetahui dirinya berbadan dua, sikapnya kian aneh saja. Ia tak seceria biasanya. Hadi sering mendapatinya merenung sendirian, juga memergokinya tergugu dalam tangisan.
Hadi sudah berusaha mencari jawaban atas tanda tanya di benaknya atas perubahan sikap istrinya. Ia bahkan beberapa kali berkonsultasi dengan dokter Sp.Og di RSIA Sakina Idaman yang menangani Sekar untuk mendapat penjelasan. Sayang, belum ada jawaban yang bisa memuaskannya.
Kata dokter, ibu hamil, terutama di trimester pertama memang cukup wajar mengalaminya. Perubahan hormon menjadi salah satu penyebab mengapa ibu hamil seringkali merasa sedih tanpa alasan. Bisa juga lantaran sang ibu merasa berat mengingat ini adalah kandungan anak pertamanya, sehingga banyak hal terlalu dikhawatirkannya.
Kandungan Sekar sudah berusia 5 bulan. Ia sudah masuk trimester kedua. Tapi kenapa sikapnya masih sama?
Hadi mendesah. Ia merasa ada yang salah.
"Sekar, kamu kenapa? Seharusnya kamu merasa bahagia. Apalagi sebentar lagi kita akan mengetahui jenis kelamin anak kita. Tapi kenapa kamu terlihat tidak bahagia?" Hadi mengenggam jemari Sekar yang baru saja menyodorkan wedang jahenya.
Sekar memosisikan diri. Ia kini duduk tepat di sebelah Hadi.
"Tentu saja aku bahagia, Mas. Aku hanya sedikit lelah," ucapnya. Bibirnya lalu mengukir seutas senyuman, agar suaminya merasa tenang.
Hadi kembali mendesah perlahan. Entah mengapa ia merasa senyuman Sekar adalah senyum yang dipaksakan.
Ah, mungkin aku yang terlalu khawatir.
"Baiklah, aku berangkat, ya. Ada meeting di kantor pemasaran pagi ini. Jangan lupa kabari aku ya. Maaf aku tidak bisa mengantarmu kontrol kali ini," kata Hadi sembari memberikan kecupan mesra di dahi dan perut istrinya.
Sekar mengangguk perlahan, lalu melepas keberangkatan suaminya dari kejauhan.
Senja kali ini begitu kelabu, tak ada sinar kuning keemasan yang berpadu warna langit yang sedikit biru. Sejak pagi langit berwarna sama. Hanya ada warna putih saja, dengan beberapa awan gelap di beberapa sisinya.
Hadi tak sabar mengendarai mobilnya. Jantungnya berdegub kencang. Ia merasa tak tenang.
Sejak siang tadi, Hadi tak berhenti mengecek ponselnya, berharap ada pesan atau telepon dari Sekar untuknya, mengabarinya tentang jenis kelamin bayi yang dikandungnya. Nihil. Bahkan pesan yang ia kirimkan juga sama sekali tak mendapat jawaban. Mungkin Sekar lupa karena kelelahan. Begitu pikirnya.
Namun beberapa saat lalu, ada pesan masuk ke ponselnya. Bergegas, Hadi membukanya begitu tahu Sekar yang mengirimkannya.
[Maafkan aku, Mas]
Begitu bunyi pesannya, membuat benak Hadi dipenuhi tanda tanya. Hadi langsung menelepon Sekar. Sayang, tak ada jawaban. Bahkan kemudian, nomor telepon Sekar berada di luar jangkauan.
Hadi tergesa memasuki rumahnya setelah ia memarkirkan mobilnya.
"Sekar? Sayang?" panggilnya. Tak ada jawaban.
Setengah berlari ia menuju kamarnya, berharap sang istri tengah duduk manis di peraduan dan menyambutnya dengan senyum manisnya. Lagi-lagi, hanya desis angin dari balik jendela yang sedikit terbuka yang ditemukannya. Sekar tak ada di sana.
"Ada apa, Di?" tanya Kanjeng Ibu yang juga baru saja masuk rumah.
"Kanjeng Ibu, Sekar tidak ada di rumah," jawab Hadi. Hatinya semakin gelisah.
"Mungkin dia ke rumah Pipit seperti biasanya," jawab Kanjeng Ibu. Hadi menggeleng.
"Aku sudah telepon Pipit. Seharian ini Sekar tidak menemuinya."
Hadi semamin gusar. Ia terus berjalan ke sana kemari dengan perasaan tak menentu.
"Sik, sik. Tenangno pikirmu, Le. Duduklah, minum dulu," kata Kanjeng Ibu yang langsung menuangkan segelas air putih untuk Hadi. Hadi menerimanya, meneguknya hingga air itu bersih tak tersisa.
Lalu mengalirlah segala cerita, tentang pesan aneh Sekar yang dikirimkan padanya.
"Aku takut Sekar kenapa-kenapa," kata Hadi lagi. Ia masih berdiri. Tegang, sama sekali tak tenang.
"Kita tunggu saja. Mungkin ponselnya mati. Pasti sebentar lagi Sekar kembali," hibur Kanjeng Ibu.
Hadi menuruti saran ibunya, sambil terus mencoba menghubungi nomor istrinya, juga menghubungi orang-orang yang dekat dengan belahan jiwanya. Namun hingga malam semakin gulita, Sekar belum menunjukkan keberadaannya.
Sekar... dimana kamu, Sayang?
Sayang, hingga Subuh menjelma, keadaan masih sama. Padahal hingga tengah malam, Hadi sudah berkeliling, berusaha mencari tahu keberadaan istrinya. Ia mendatangi RSIA Sakina Idaman, tempat istrinya periksa kandungan. Data di resepsionis menunjukkan Sekar memang dari sana. Hadi kemudian berlalu, mendatangi rumah dr. Detty, dokter Sp.Og yang menangani Sekar. Tak ada informasi apa-apa, selain informasi bahwa saat periksa, Sekar tampak baik-baik saja.
Hadi mulai lelah, ia hampir menyerah. Namun tiba-tiba sekelebat pikiran muncul di benaknya, tentang siapa sosok yang seringkali membuat gundah hati istrinya.
Jangan-jangan.... Duh Gusti... kenapa aku tidak menyadarinya?
Hadi yakin, sosok itulah yang kembali menyebabkan istrinya gundah gulana, lalu menghilang entah kemana.
Hadi mengepalkan tangannya. Matanya memerah menahan amarah. Setelah tiga tahun lamanya, ia kira sosok itu akan berhenti menyakiti istrinya. Namun sepertinya ia salah. Sepertinya sosok itu kembali berulah. Entah apa yang kali ini diperbuatnya.
Hadi menghela napas panjang. Ia lalu melajukan mobilnya, menuju rumah seseorang yang ia yakini sebagai penyebab ini semua, seseorang yang pernah dengan tanpa rasa berdosa, meminta Sekar berbagi suami dengannya.

Penasaran dengan kisah novel Canting selanjutnya?
Order novelnya ya... Klik tombol whatsapp untuk order Novel Canting karya Fissilmi Hamida
 


Order Novel

Comments